HIMA PERSIS PK STAI PERSIS

HIMA PERSIS PK STAI PERSIS BANDUNG

 
            Dari segi etnografis, tidak ada satu kelompok manusia pun di luar dunia yang tidak mempunyai kepercayaan bagaimanapun sederhananya masyrakat atau kepercayaan itu sendiri. Karena itu, agama atau kepercayaan merupakan lembaga yang tertua dalam sejarah dunia yang melibatkan dari jauh ke dalam persoalan masyarakat. Dalam hubungan itu juga, agama termasuk lembaga yang tetua dalam masyarakat yang prihatin terhadap permusuhan dan perdamaian dalam masyarakat. Hal ini bisa dilihat misalnya, pada upacara-upacara ibadah dan tempah ibadahberfungsi sebagai sentrum dan integrator, sebagai wadah trenga dei (pedoman Allah) bagi kedua belah pihak yang berpegang atau meminjam istilah Karl Manheim, maka agama berfungsi sebagai “pemberi makna dan penjelas atau hidup bermasyarakat.” . 

            Frithjof Schuon berusaha untuk menganalisis hubungan antara agamqa. Dasar pemikirannya adalah setiap hal memiliki persamaan sekaligus perbedaan dengan hal-hal lainnya. Persamaannya adalah adanya hal-hal itu sendiri. Perbedaaannya adalah keragaman yang dapat diperbandingkan. Demikian pula halnya dengan agama. Bila tidak ada persamaan pada agama, kita tidak akan menyebutnya dengan nama yang sama; “agama”. Bila tidak ada perbedaan diantaranya, kita pun tiodak akan menyebutna dengan kata majemuk, “agama-agama”. Dimanakah akan di tarik garis antara kesatuan dan kemajemukan diantara keduanya? )F. Schuon, 1987: ix)

            Untuk menjawab masalah ini, dia mengajukan teori tentang “perbedaaan antara hakikat dan perwujudan” : “Esoteris lawan Eksoteris”. Kajian ini didasarkan pada ajaran yang bersifat metafisik, bukan bersipat filosofis. Schuon menarik garis pemisah antara yang eksoteris dan esoteris.

            Perbedaaan dasar bukanlah agama yang satu dan agama yang lain. Dapat dikatakan, garis pemisah itu bukannya membagi perwujudan histories yang besar dari agama-agama secara vertical. Garis pemisah tadi bersifat horizontal dan hanaya ditarik satu kali membelah berbagai esoterisme, sedangkan di bawahnya terletak paham eksoterisme sebagaimana dapat dilihat pada bagan di bawah ini :   

SHAPE\* MERGEFORMAT Adikodrati

Esoterisme

Eksoterisme

1. Pengetahuan Metafisik

2. Asal/sumber kebenaran

atas kebenaran universal

1. Pengetahuan teologi/ Dogmatis

2. Kebenaran persial atau

perwujudan dari kebenaran yang

Universal
            Mungkin dapat dibentik bahwa garis horizontal ini tidak begitu orisinil seperti dugaan semula karena secara esoteris, semua agama pada dasarnya sama dan secara eksoteris hanya berbeda dalam bentuknya dan ini sudah sering dikemukakan. Menurut Schuon, hidup ini mengandung tingkatan-tingkatannya. Dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah di tingkat tertinggi (Adikordati),  dan terdapat titik temu berbagai agama, sedangkan di tingkat bawahnya, agama-agama tadi saling berbeda.

            Apa yang tampak pada garis-garis diatas adalah kesatuan yang absolute, kategoris dan uth, secara antropologis, kesatuan ini menutup kemungkinan munculnya perbedaaan akhir antara yang manusiawi dan ilahi. Adapun secara epistimologis, kesatuan yang sama meniadakan kemungkinan bagi munculnya perbedaan akhir antara mengetahui dan diketahui.

            Inilah yang memungkinkan kita memahami, versi Schuon tentang perbedaan hakikat dan perwujudan agama sangat penting artinya menurut pandangannya. Kelemahan versi lain mengenai perbedaan ini karena terlalu cepat menyatakan adanya kesatuan. Padahal kesatuan tersebuttidak terjangkau karena bercorak eksoteris, tanpa perbedaan tersebut, akan terjadi kebingungan yang tidak dapat dielakan, sebagaimana dikatakan dalam pengantar buku Attitudes toward other Religions (Own Thomas, ed, 1969 :22) :kadang-kadang ditekankan bahwa semua agama sama benarnya, tetapi hal ini kelihatannya merupakan suatu pendapat yang lemah karena agama bermacam-macam itu mempunyai pandangan yang sangat berbeda tentang realitas jika bukan bertentangan satu sama lain.

            Jelaslah bahwa kesatuan berbagai agama hanya terjadi pada tingkat esoteris. Ia bersembunyi dan bersifat rahasia, baukan karena orang mengetahuinya, melainkan karena kebenaran yang merupakan rahasia itu terbenam didalam timbunan unsure manusiawi. Inilah sebabnya mengapa mereka tidak menjelaskan secara meyakinkan kepada orang banyak.

            Untuk menjelaskan perbedaan antara pengetahuan metafisk dan pengetahuan teologis, kita ambil contoh dari dunia indrawi. Pengetahuan metafisk atau esoteris. Jika di ungkapkan dalam symbol religius adalah kesadaran mengenai hakikat cahaya yang tidak berwarna dan mengenai cirinya sebagai sumber terang sejati. Suatu kepercayaan religius tentang mengatakan bahwa cahaya itu berwarna merah dan bukan hijau, sedangakn kepercayaan religius lainnya menyatkan sebaliknya. Kedua pertanyaan tadi adalah benar sejauh keduanya membedakan cahaya dari kegelapan, tapi tidak benar kalau cahaya itu mereka anggap sama dengan suatu warna saja.

            Dalam pengertian lain, pengetahuan metafisk merupakan sumber asal kebenaran dansumber asal adikodrati, sedangakn pengetahuan teologis merupakan perwujudan dari adikodrati tadi, dan hanya bisa difahami dengan bahasa dogmatis. Dengan demikian, berbagai agama yang ada merupakan terjemah dari kebenaran universal dengan bahasa dogmatis. Karena itu, walaupun kebenaran intrinsic dari dogma tidak dapat di pahami semua orang, termasuk melalui kemampuan intelek. Tapi hanya bisa dipahami lewat iman, ini merupakan satu-satunya cara yang mungkin bagi sebagian besar manusia untuk berpartisipasi dalam kebenaran ilahi.

            Dari pembahasan diatas Nampak jelas bahwa pada dasarnya, agama-agama yang ada di dunia berasala dari satu sumber, satu kebenaran universal, yakni adikodrati. Hanya sebutan untuk adikodrati tersebutdapat berbeda sesuai dengan wujud eksoteris dari pengetahuan esoteris (metafisik). Khususnya untuk ungkapan eksoteris, perwujudan berbagai agama menjadi persoalan tersendiri. Bagaimana cara yang paling tepat, agar diantara agama-agama tersebut terjadi keharmonisan dan tidak menimbulkan perbedaan yang perlu diperdebatkan.

 

            Tentu saja hal ini melalui batasan-batsan keyakinan tertentu sesuai dengan apa yang dianjurkan dan diajarkan oleh masing-masing agama tersebut. Hal ini disadari, karena karena akhirnya masing-masing agama mengakui dan meyakini kebenaran Dognatis. Paling tidak, dapat membukakan dialog antar agama, dan hal ini hanaya bisa dimulai dengan mengandaikan keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Misalnya mungkin baru timbul, bila mulai dipersoalkan secara terperinci, apa yang dimksud dengan keterbukaan, segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka  terhadap agama lain?  Pada tingkat mana keterbukaan nya itu dapat dilaksanakan atau dapat ditolerir dan juga dalam modus yang mana keterbukaan itu dapat dilaksanakan?

            Dengan kata lain  ini juga perlu di rumuskan juga batas-batas kemungkinan keterbukaan tersebut, karena itu, yang perlu mendapat perhatian bukanlah bagaimana agama sebagai suatu sitem subtansial dengan ajaran, doktrin dan kewajiban-kewajibannya melihat persamaan dan perbedaannya dengan suatu agama lain, tetapi bagaimana agama menjadi jalan dari sebab seseorang atau suatu sekelompok  orang terbuka kepada kelompok orang yang beragama lain.

            Dalam hubungannya dengan kajian esoteris dan eksoteris dalam mengkaji agama, baik agama kita sendiri maupun agama orang lain, perlu dibedakan dua bagian:

  1. External Religion, yakni bagian luar agama, seperti ajaran-ajaran, symbol-simbol, praktek-praktek dan lain-lain yang selama ini di pandang sebagai agama.
  2. Internal religion, bagian dari agama, yang tiada lain ada pada diri manusia. Internal religion merupakan inti dari personalisasi agamanya smith dalam memahami agamayakni melalui pengakuan para pengikut dan pelaku agama, dan smith menekankan bahwa agama yang sebenarnya terletak pada bagian ini.
Setiap pelaku agama akan berbeda dalam memahami doktrin-doktrin, symbol-simbol atau ajaran-ajarannya, oleh karena itu, untuk memahami kebenaran agama tida lain apa yang dikatakan benar olah pengamatannya, sehingga bagian objek studi agama bukan pada bagian yang pertama (external religion).  Tetapi pda diri manusia (internal religion).

Max Weber, sebagaimana dikutip oleh Brian S. Turner, seringkali mengisyratkan bahwa dalam mengkaji dan menganalisis agama bukan dalam arti “apakah agama itu”, tetapi untuk menulusuri kondisi dan dampak teodisi budaya yang berbeda-beda. Karena itu hakikat beragama adalah menjadikan hidup bermakna dan menyelaraskan kesenjangan antara harapan-harapan dan pengalaman actual. Dengan demikian pendekatan Internal consistency untuk memahami arti dan makna agama dari para pemeluknya adalah sangat penting.

Berdasarkan halitu, sebagai bagian dari akibat semakin intensifnya pergaulan dan proses komunikasi antar bangsa, maka antara suatu agama lainnya harus berhubu gan secara terbuka dan bukan bagian entitas yang tertutup dalam sebuah masyarakat yang terbuka pula. Disadari, bahwa pluralitas agama akan muncul ditempat yang berbeda-beda dan agama tidak bisa lagi hidup secara terisolasi.

Solarso Sopater, memberikan pandangan bahwa pluralisme terjadi bukan hanya sebagai suatu proses external, tetapi juga internal. Hal ini disebabkan adanya kontak ditempat agama-agama itu hidup, yang juga menentukan corak-corak agama itu semdiri. Sebagai contoh, kebaragamaan Kristen di Eropa berbeda dengan keberagamaan Kristen di Asia, Afrika atau Amerika latin. Demikian pula keberagamaan islam di negri-negrfi jazirah Arab berbeda dengan islam yang berkembang di Indonesia ataupun di Negara-negara lainnya. Dengan demikian, terlihat bahwa prosese pluralisasi menimbulkan kesadaran atau kemajemukan ekspresi keagamaan yang ada di tempat berbeda.
11/5/2010 10:53:23 am

Books are by far the most lasting products of human effort.

Reply



Leave a Reply.


HIMPUNAN MAHASISWA (HIMA) PERSIS PK STAI PERSIS BANDUNG