HIMA PERSIS PK STAI PERSIS

HIMA PERSIS PK STAI PERSIS BANDUNG

 

Ibnu Shalah menta’rifkan Ilmu Gharibi-Hadits, ialah :
Ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafadh-lafadh dalam matan Hadits yang sulit lagi sukar difahamkan, karena jarang sekali digunakannya.
Dengan memperhatikan ta’rif tersebut, hanyalah kiranya bahwa yang menjadi obyek ilmu Gharibil-Hadits ialah kata-kata yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahamkan maksudnya. Dan nyata pulalah kiranya tujuan yang hendak dicapai oleh ilmu ini, ialah melarang seseorang menafsirkan secara menduga-duga dan mentaqlidi pendapat seseorang yang bukan ahlinya.
Sebagian besar Ulama Hadits sendiri, kalau dimintakan fatwa tentang sesuatu matan Hadits yang kebetulan beliau sendiri tidak sanggup menerangkan, lalu menyerahkan fatwanya kepada orang yang lebih mengetahuinya.
Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang tentang arti suatu lafadh gharib yng terdapat dalam sebuah matan Hadits, tetapi karena beliau merasa tidak mampu, lalu menjawab, ujarnya :
Tanyakannlah kepada seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidang Gharibil-Hadits, karena aku tak suka memperkatakan sabda Rasulullah SAW dengan purbasangka.

Karena sangat hati-hatinya, Al-Ashmu’iy di kala ditanya oleh seseorang tentang arti Hadits yng berbunyi :
“Tetangga itu berhak untuk didekati"
Mengatakan : “ Saya enggan menafsirkan sabda Rasulullah ini tetapi orang-orang Arab menyangka, bahwa lafadh “Sabqi” itu artinya al-Laqiz ( janbun=dekat).

Cara-Cara menafsirkan ke-Gharib-an al-Hadits

Para Muhadditsin mengemukakan hal-hal yang dapat digunakan untuk menafsirkan ke-Gharib-an matan Hadits. Di antara hal-hal yang dipandang baik untuk menafsirkan ke-Gharib-an Hadits ialah:
1. Hadits yang sanadnya berlainnan dengan hadits yang bermatan gharib tersebut.
2. Penjelasan dari Sahabat yang meriwayatkan Hadits atau dari Sahabat lain yang tidak meriwayatkannya.
3. Penjelasan dari rawy selain sahabat.

Perintis Ilmu Gharibil-Hadits dan Kitab-kitabnya.

Kebanyakan para Muhadditsin menganggap bahwa perintis Ilmu Gharibil-Hadits itu adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Mutsanna at-Taimy salah seorang Ulama Hadits yang berasal dari kota Basrah. Beliau Meninggal pada tahun 210 H.
Sebagian Ulama Hadits yang lain berpendapat bahwa promoter ilmu tersebut ialah Abu Hasan an Nadir bin Syamil Al-Maziny, seorang ulama ilmu Nahwu, yang meninggal pada tahun 204 H. ia adalah seorang guru dari imam ishaq bin Rahawaih, guru imam Bukhary itu.
Ilmu yang telah dirintis oleh kedua ulama tersebut disempurnakan dan dikenbangkan oleh ulama-ulama kemudian, hinggan melahirkan beberapa kitab gharibil-Hadits yang sangat berguna dalam memahami Al-Hadits. Kitab-kitab itu antara lain :
1. Gharibil Hadits oleh Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (157-224 H). tidak sedikit para ahli ilmu yang memuji kitab itu sebagai kitab yang kaya akan faidah dan berharga.
2. Al-Faiqu fi Gharibil-Hadits, karya Abu Qasim Jarullah Mahmud bin Umar Az-Zumakhsyary (468-538) Kitab yang mencangkup seluruh ilmu Gharibil Hadits yang telah ditulis oleh ulama-ulama yang mendahuluinnya itu telah dicetak berulang kali di Hayderabab dan Mesir.
3. An-Nihayah fi Gharibil-Hadits wal-Atsar, karya Imam Majdudin Abis- Sa’adat Al-Mubarak bin Muhammad ( Ibnu’I Atsir ) Al-Jazary (544-606 H). Buku ini merupakan buah daripada hasil-karya ulama-ulama sebelumnya yang diperbaiki susunannya menurut alfabetis dari lafadh-lafadh yang gharib. Hadits-Hadits yang ada hubungannya denagn hadits yang Gharib itu dikemukakan pula serta ditafsirkankanlah kalimat demi kalimat hingga hilang keGharibannya. Kitab yang terdiri dari 4 jilid itu dicetak berulang kali diMesir. Pada cetakan yang terakhir, ia dijadikan 5 jilid dengan diberi tahqiq ( interpensi ringkas ) oleh kedua ulama besar, Tharir Ahmad Az-Zawy dan Mahmud Muhammad At-Thanahy dan dicetak oleh Daru Ihya’l-kutubi’l Arabiyah (Mesir) pada tahun 1383 H = 1963 M.
4. Kemudian disusul oleh Abu Hafsh umar bin Muhammad bin Raja’I Al-Ukbury ( 380-458H). Ia adalah salah seorang guru Abu Yahya Muhammad bin Al-Husain Al-Farra Al-Hanbaly dan salah seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.

 

A.  Pengertian Filsafat.

 

       Secara etimologis  kata filsafat dari kata Yunani filosofia, yg berasal dari kata kerja filosofein yg berarti mencintai kebijaksanaan. Kata filsafat juga berasal dari kata Yunani philosophis yg berasal dari kata kerja philein yg berarti mencintai / philia yg berarti cinta, dan sophia yg berarti kearifan. Dari kata tersebut lahirlah kata Inggris philosophy yg bias diterjemahkan “cinta kearifan”.

 

Konsep Plato  :  Istilah dialektika yaitu seni berdiskusi. Dikatakan demikian karena filsafat harus berlangsung sebagai upaya memberikan kritik terhadap berbagai pendapat yg berlaku.

 

Konsep Cicero  :  Filsafat sebagai ibu dari semua seni (the mother of all the art). Dan juga sebagai arts vital yg mana filsafat sebagai seni kehidupan.

 

Konsep al-Farabi  :  Filsafat sebagai ilmu yg menyelidiki hakikat yg sebenarnya dari segala yg ada.

 

Konsep Rene Descartes  :  Filsafat sebagai kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam, dan manusia jadi pokok penyelidikannya.

 

Konsep Francis Bacon  :  Filsafat sebagai induk agung dari ilmu-ilmu. Filsafat menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.

 

Filsafat sebagai ilmu mengandung 4 unsur pertanyaan ilmu, yaitu bagaimanakah, mengapa, kemanakah dan apakah.

 

Filsafat sebagai cara berpikir

 

Berpikir yang sangat mendalam sampai hakikat / berpikir secara global/ menyeluruh/ berpikir yang dilihat dari berbagai sudut pandang  ilmu pengetahuan.

 

 

 

 

Harus memenuhi persyaratan :

 

  1. Harus sistematis  
  2. Harus konsepsional
  3. Harus koheren
  4. Harus rasional
  5. Harus sinoptik
  6. Harus mengarah kepada pandangan dunia            
 

 

Filsafat sebagai pandangan hidup

 

Hakikatnya bersumber pada hakikat kodrat pribadi manusia ( sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan)

 

 

 

B.  Objek Materi & Objek Forma Filsafat

 

       Objek materi filsafat adalah segala sesuatu yang ada. “ada” disini mempunyai 3 pengertian, yaitu ada dalam kenyataan, pikiran, dan kemungkinan.

 

       Objek forma filsafat adalah menyeluruh secara umum. “Menyeluruh” disini berarti bahwa filsafat dalam memandangnya dapat mencapai hakikat (mendalam) / tidak ada satu pun yang berada di luar jangkauan pembahasan filsafat. Umum disini dalam hal tertentu, hal tersebut dianggap benar selama tidak merugikan kedudukan filsafat sebagai ilmu.

 

       Ir. Poedjawijatna : Objek materi filsafat, ada dan yang mungkin ada. Objek materi filsafat tersebut sama dengan objek materi dari ilmu seluruhnya.

 

 

C. Ciri-ciri pemikiran Filsafat

 

       Clarence I Lewis (ahli logika) : Filsafat itu sesungguhnya suatu proses refleksi dari bekerjanya akal.

 

       Ciri-ciri pemikiran filsafat :

  1. Sangat umum / universal
  2. Tidak faktual
  3. Bersangkutan dengan nilai
  4. Berkaitan denga arti
  5. Implikatif 
 

 

 

 

D.  Cabang-cabang Filsafat.

 

       Filsafat dikelompokkan menjadi 4 bidang induk sebagai berikut :

1. Filsafat tentang pengetahuan : epistemologi, Logika, Kritik ilmu-ilmu

2. Filsafat tentang keseluruhan kenyataan, yg terdiri dari : metafisika umum & khusus.

3. Filsafat tentang tindakan ; etika & estetika.

4. Sejarah filsafat.

 

       Pembagian filsafat secara sistematis yg terdiri dari : 

1. Metafisika ( filsafat tentang hal yang ada ).

2. Epistemologi ( teori tentang pengetahuan ).

3. Metodologi ( teori tentang metode ).

4. Logika ( teori tentang penyimpulan ).

5. Etika ( Filsafat tentang pertimbangan moral ).

6. Estetika ( Filsafat  tentang keindahan ).

7. Sejarah filsafat.

 

       Filsafat berdasarkan struktur pengetahuan filsafat yg berkembang sekarang : 

1.      Filsafat sistematis : Metafisika, Epistemologi, Metodologi, Logika, Etika, Estetika.

2.      Filsafat Khusus : Filsafat seni, kebudayaan, pendidikan, sejarah, bahasa, hukum, budi, politik, agama, kehidupan sosial, nilai.

3.      Filsafat keilmuan : Filsafat matematika, ilmu-ilmu fisik, biologi, linguistik, psikologi, ilmu-ilmu sosial.  

 

Cabang-cabang Filsafat meliputi :

1.      Metafisika.

2.      Epistemologi.

3.      Logika.

4.      Etika.

5.      Sejarah Filsafat.

 

E. Kegunaan Mempelajari filsafat : 

 

1.      Menambah ilmu pengetahuan.

2.      Dasar sebuah tindakan adalah ide.

3.      Dengan bertambah & berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi kita ditantang untuk memberikan alternatifnya.

 

F. Metode-metode Filsafat.

 

1.      Metode Kritis.

2.      Metode Intuitif.

3.      Metode Analisis/Abstraksi.

 

 

 

G. Sejarah Kelahiran Filsafat.     

 

1. Masa Yunani.

 

       Yunani terletak di Asia kecil, penduduknya sebgai nelayan & pedagang, dan mereka menguasai jalur perdagangan.

 

       Menganut kepercayaan yg bersifat formalitas yakni tidak memberi kebebasan pada manusia, sehingga memunculkan pertentangan. Salah satunya adalah Homerus. Sehingga memunculkan aliran – aliran pemikiran yg bermacam-macam.

 

       Ahli pikir yg pertama muncul adalah Thales (625-545 SM) ia mengembangkan geometri, matematika. Lalu muncul pula yg bernama Democritos yg mengembangkan teori materi. Lalu Hipocrates ia mengembangkan ilmu kedokteran. Lalu Euclid yg mana ia mengembangkan geometri deduktif. Lalu Socrates, Plato, dan Aristoteles.

 

2. Masa abad Pertengahan.

 

       Diawali dengan lahirnya filsafat eropa, yg sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Yang ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah dan universitas-universitas dalam bidang geometri, gramatika, dialektika, astronomi, dll.

 

       Dimasa Skolastik islam muncullah ahli-ahli piker islam. Seperti al-Ghazali, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, dll. Pada masa jayanya ilmu-ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat pesat.

 

       Pada masa peralihan dari abad pertengahan ke masa modern muncul Renaisance dan Humanisme yg menandai masa abad modern.

 

3. Masa abad Modern.

 

       Masa ini filsafat berhasil menempatkan manusia pada posisi yg sentral. Dikarenakan berdasarkan akal dan pengalaman. Masa ini filsafat berusaha diletakan secara sistematis dan praktis.

 

       Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes, George Barkeley, David Hume, Immanuel Kant ( Jerman ), Christian Wolf (1685-1753). Lalu dilanjutkan dengan masa perpecahan diantaranya terbagi pada Filsafat Amerika, Perancis, Inggris, dan filsafat Jerman.

 

4. Masa Abad dewasa ini ( Filsafat abad ke-20 ).

 

       Disebut juga masa filsafat kontemporer, yg jadi cirinya desentralisasi manusia, memberikan khusus pada bidang bahasa dan etika sosial.

 

       Pokok masalah dalam filsafat bahasa diantaranya mempertanyakan arti kata dan arti dari pernyatan-pernyatan. Masa ini timbul filsafat analitik yg mana membahas tentang cara berpikir.

 

       Masa ini muncul aliran-aliran seperti neo-thomisme,neo-vitalisme,historisme, irasionalisme, sll.

 

Bab. II.  Filsafat Yunani.

 

       3 faktor yg mentebabkan filsafat Yunani tumbuh, yaitu : Bangsa Yunani kaya akan dongeng, banyaknya karya sastra, dan pengaruh budaya babylonia.

 

       Zaman Yunani terbagi jadi 2 periode yaitu : Yunani kuno ( Thales, Anaximandros, Pythagoras, Xenopanes, dll  ) dan masa Yunani klasik ( Socrates, Plato, Aristoteles).

 

a. Yunani kuno.

 

       Masa ini lazim disebut dengan periode filsafat alam, karena para ahli pikir masa ini  cenderung untuk melihat pada alam ygada disekitarnya. Dan tidak berdasarkan mitos. Mereka mencari azas-azas yg pertama dari alam yg bersifat mutlak. Para pemikir yg pertama berasal dari miletos tepatnya Asia kecil.

 

b. Yunani klasik.

 

       Masa ini ditandai dgn besarnya minat pada filsafat, aliran yg mengawalinya adalah sofisme. Antara sofis dan Socrates mempunyai hubungan yg erat yg mana pembahasannya mengenai manusia. Perbedaan mereka terletak pada bahwa pemikiran Socrates ada sebagai reaksi atas pemikiran kaum sofis.

 

Kaum sofis            

        

       Bukan suatu aliran / ajaran, merupakan suatu gerakan dalam bidang intelektual sebagai reaksi atas minat orang pada filsafat. Istilah sofis berasal dari kata sofihistis yaitu seorang sarjana / cendekiawan. Faktor pendorong timbulnya sofis adalah : perkembangan pesat kota Athena, desakan kebutuhan akan bidang pendidikan, dll.

 

Bab. III.  Filsafat Barat Abad Pertengahan.

 

Ciri pemikiran abad pertengahan adalah :

1.      Cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja.

2.      Berfilsafatnya didalam lingkungan Aristoteles.

3.      Berfilsafat dgn pertolongan Augustinus.

 

Masa  Abad pertengahan terbagi 2, yaitu :

1.      Masa Patristik.

2.      Masa Skolastik.

 1. Masa Patristik.

 

       Istilah Patristik berasal dari kata latin yaitu pater/ bapak ialah pemimpin gereja yg dipilh dari golongan atas/ ahli pikir. Golongan  ini  terbagi 2 antara yg menerima dan yg menolak filsafat Yunani.

 

       Golongan yg menolak beranggapan bahwa sudah punya sumber kebenaran, yakni firman Tuhan dan tidak dibenarkan mencari kebenaran yg lain dari filsafat Yunani. Sedang yg menerima filsafat Yunani beranggapan walau telah ada sumber kebenaran tidak ada jeleknya menggunakan Filsafat Yunani sebagai metode berpikir, tokohnya antara lain : Justinus Martir, Gregorius,Tertullianus, dll.

 

2. Masa Skolastik.

 

       Istilah Skolastik berasal darikata school yg erarti sekolah, yg berarti aliran yg berkaitan dgn sekolah. Adapun cirinya adalah Mempunyai corak keagamaan, mengabdi pada teologi, filsafat Yunani yg terpengaruh ajaran gereja.

 

       Skolastik bisa tumbuh karena faktor agama dan ilmu pengetahuan. Masa skolastik terbagi jadi 3 periode :   

1.      Skolastik awal (800-1200) : Aquinas, Peter Lumbard, John Salisbary,dll.

2.      Skolastik puncak (1200-1300) : Albertus de Grote, William Ocham,dll

3.      Skolastik akhir (1300-1450) : Nicolas Cusasus,dll.

     

Skolastik Arab terbagi 2. yaitu : Periode Mutakallimin dan periode filsafat Islam.

 

Bab. IV.  Pemikiran Filsafat di Timur.

 

a. Filsafat India.

 

Terbagi dlm 5 zaman, yaitu :  Zaman Wedha, Wiracarita, Sastra sutra, kemunduran, dan zaman pembaharuan.

 

b. Filsafat Tiongkok.

 

Aspek yg melatar belakangi lahirnya filsafat tiongkok adalah aspek geografis, ekonomi,system kekerabatan, sikap pd alam, dll. Aliran-aliran pemikiran filsafatnya, yaitu : Confusiasme dan Taoisme.

 

c. Filsafat Islam.

 

Pembagian aliran pemikiran filsafat Islam adalah, sbb :

Periode Mu’tazilah (Abad ke 8-12)-Periode filsafat pertama (Abad 8-11)-Periode kalam asy’ari (Abad 9-11)-Periode filsafat kedua (Abad 11-12)- Periode Mutakallimin (700-900).

 

d. Filsafat di Indonesia.

 

Maksud  pemikiran filsafat di Indonesia adalah suatu pemikiran yg diperuntukan sebagai landasan kehidupan berbangsa diIndonesia.Adapun tujuannnya adalah bertujuan dan punya corak : selaras dengan dirinya sendiri, harmonis terhadap lingkungan serta harmonis dengan Tuhan yang Maha Esa. Dan ini termaktub dalam dasar Negara yaitu Pancasila.    

 

Bab. V. Filsafat Modern.

 

       Zaman modern ditandai dengan gerakan Renaisance (abad 14) yg mempunyai corak keagamaan dan kemasyarakatan. Tujuan utamanya adalah mengaitkan dan merealisasikan ajaran kristiani dan filsafat Yunani, serta mempersatukan gereja.

 

       Masa abad 20 muncullah berbagai aliran pemikiran diantaranya :

1.      Rasionalisme, dipelopori oleh Rene Descartes. Ia mengatakan bahwa pengetahuan harus satu. Dan harus berdiri sendiri, dan sumber yg dapat dipercaya adalah akal.

2.      Empirisme, diantara tokohnya adalah Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume. Mereka berpandangan ilmu pengetahuan yg benar dan bermanfaat dpt diperoleh indera (empiri).

3.      Kritisisme, adalah aliran yg mengakui peranan akal dan keharusan empiri dan melalui jalan sintesis. Metode berpikirnya disebut metode kritis, pelopornya adalah Immanuel Kant.

4.      Idealisme, merupakan penerus Kant yg tidak puas pada batas kemampuan akal. Alasannya adalah karena akal murni tidak akan dapat mengenal hal yg berada diluar pengalaman, untuk itu dicari suatu dasar yaitu system metafisika.

5.      Positivisme, Pemikirannya adalah factual dan positif. Maksudnya segala gejala dan segala nampak seperti apa adanya dan sebatas pengalaman yg objektif.

6.      Evolusionisme, corak pemikirannya bahwa segala sesuatu termasuk manusia diatur oleh hokum mekanik.

7.      Materialisme, aliran ini berpandangan kerohanian dan berpendapat bahwa pengetahuan dan tindakan berlaku adagium artinya terimalah dunia yg ada. Untuk mendapat kebahagiaan harus ingat pd sesamanya.

 

Bab. VI. Filsafat dewasa ini.

 

1. Filsafat Analitis, Pelopornya adalah Ludwig Josef  johan Wittgenstein (1889-1951), pemikirannya adalah tentang bahasa, ia mencita-citakan suatu bahasa yg ideal, lengkap, formal dan dapat memberikan kemungkinan bagi masalah-masalah kefilsafatan.

2. Filsafat Strukturalisme, pelopornya adalah J. Lacan (1901), pemikirannya adalah bahwa bahasa terdiri dari sejumlah termin yg ditentukan oleh posisi-posisinya satu terhadap yg lain. Dan termin itu digabungkan oleh aturan gramatika & sintaksis. Kita dikatakan jadi pribadi jika mengabdikan diri pada bahasa.       

      

 

 

A.  Zaman Patristik

       Istilah Patristik berasal dari kata latin patres yang berarti Bapak dalam lingkungan gereja. Bapak yang mengacu pada pujangga Kristen, mencari jalan menuju teologi Kristiani, melalui peletakan dasar intelektual untuk agama kristen. Didunia Barat agama Khatolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia, dan etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkanya maka mereka menggukanakan falsafat Yunani dan memperkembangkanya lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal yang berhubungan dengan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat Tuhan. Yang terkenal Tertulianus (160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354-430), yang sangat besar pengaruhnya (De Civitate Dei).. Berdasarkan ajaran Neo-Plaonisi da Stoa, ajarannya meliputi pengetahuan, tata dalam alam. Bukti adanya Tuhan, tentang manusia, jiwa, etika, masyarakat dan sejarah.[1]

       Periode ini ditandai dengan oleh Bapak-bapak Gereja (patristik) yang dimulai dengan tampilnya apologet[2]dan para pengarang Gereja. Para Apologet memiliki tugas utama menjawabi berbagai persoalan dan keberatan mengenai ajaran-ajaran iman Gereja terhadap berbagai ajaran atau paham-paham filosofis yang mengancam ajaran keimanan yang benar. Para pengarang Gereja adalah orang-orang yang menulis buku dan karangan-karangan tentang berbagai ajaran Gereja secara menyeluruh dan mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Mereka-mereka itu adalah Clemens dari Alexandria (150-219 M) dan Origenes (185-254 M). Kemudian tampil juga para pujangga Gereja (325-500 M) yang membaktikan jasa mereka bagi Gereja dan ajaran Kristen. Satu Athanasius, Gregorius dan Naziaza, Basilius, Gregorius dari Nyssa, dan Sirilus dari Alexandria adalah para pujangga Gereja dari tradisi Yunani dan menggunakan Bahasa Yunani, sedangkan Ambrosius dan Agustinus termasuk dalam tradisi Latin yang menggunakan bahasa Latin. Ajaran-ajaran mereka, terutama ajaran Agustinus, berkembang sangat luas dan sangat berpengaruh dalam diri para filosuf abad pertengahan. Masa Agustinus (354-430 M) sampai ca. 1000 M dikeal dalam sejarah filsafat sebagai periode transisi, da para filsuf yang terkelompok dalam periode ini adalah Agustinus sendiri, Boethius (480-525 M) dan John Scotus Eriugena (lahir ca. 800 M).[3]

B.  Kedudukan Filsafat Pada Zaman Patristik

       Filsafat pada zaman ini berlangsung pada abad pertengahan tepatnya pada tahun 100-700[5]. Namun, pada sumber lain ada juga yang menyebutkan bahwa Filsafat Abad Pertengahan dimulai sejak Plotinus. Pada Plotinus (lahir 204 M).[4] Karena filsafat ini berlangsung pada Abad pertengahan maka sangat erat kaitannya dengan filsafat pada abad pertengahan terutama terhadap tokoh-tokoh filsafat pada abad pertengahan yakni Tertalius (160-222), Origenes (185-254), Agustinus (354-430).

       Dunia Barat agama Khatolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia dan dunia, beserta etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkannya maka mereka menggunakan Filsafat Yunani dan memperkembangkannya lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal tentang kebebasan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat tentang Tuhan.[5]

       Akal pada Abad Pertengahan ini benar-benar kalah. Hal itu kelihatan jelas pada Filsafat Plotinus., Agustinus, Anselmus. Pada Aquinas penghargaan terhadap akal muncul kembali, dan kerena itu filsafatnya mendapat kritikan. Sebagaimana telah dikatakan, Abad Pertengahan merupakan dominasi akal yang hamper seratus persen pada Zaman Yunani sebelumnya, terutama pada Zaman Sofis.

       Pemasungan akal dengan jelas terlihat pada pemikiran Plotinus. Ia mengatakan bahwa Tuhan bukan untuk dipahami melainkan untuk dirasakan. Oleh karena itu tujuan dari filsafat adalah bersatu dengan Tuhan. Jadi dalam hidup ini rasa itulah satu-satunya yang dituntun oleh Kitab Suci, pedoman hidup manusia. Filsafat rasional dan sains tidak penting; mempelajarinya merupakan usaha mubadzir, menghabiskan waktu secara sia-sia. Karena Simplicius salah seorang pemikir zaman Plotinus, telah menutup sama sekaliruang gerak filsafat rasional, iman telah menang mutlak. Karena iman harus menang mutlak orang-orang yang masiih menghidupkan filsafat (akanl) harus dimusuhi. Maka pada Tahun 415 Hypatia, seorang yang terpelajar ahli filsafat pada zaman Aristoteles, dibunuh. Tahun 529 Kaisar Justianus mengeluarkan Undang-Undang yang melarang Filsafat.

        Agustinus mengganti akal dengan iman; potensi manusia yang diakui pada zaman Yunani diganti dengan kauasa Allah. Ia mengatakan bahwa kita tidak perlu dipimpin oleh pendapat bahwa kebenaran itu relatif. Kebenaran itu mutlak yaitu ajaran agama. Moral berpuncak pada dosa Adam, kehidupan pertapa adalah kehidupan terbaik. Hati memerlukan kehidupan demikian. Ia juga mengatakan bahwa mempelajari hukum alam adalah mubadzir, memboroskan waktu. Ia berkutat bahwa bumi adalah pusat jagat raya. Intelektualisme tidak penting, yang penting adalah cintakepada Tuhan. Tidak perlu dipikir, tanya dati Anda, siap pencipta alam ini. Untuk itu hati bersih, harus hidup. Mka kehidupan berbujang adalah kehidupan terpuji. Manusia dilarang mempelajari Astronomi. Mempelajari Anatomi memnjadikan manusia materialistis. Filsafat dan Sains jangan disentuh. Akal mati, hati menang.

       Ciri khas Filsafat Abad pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Anselmus, yaitu Credo Ut Intelligam, yang berarti iman terlebih dfahulu setelah itu mengerti. Imanilah terlebih dahulu, misalnya, bahwa dosa warisan itu ada, setelah itu susunlah argumen utnuk memahaminya. Mungkin juga utnuk meneguhkan keimanan itu. Didalam pengertian itu tersimpalah pengertian bahwa seseoang tidak boleh mengerti atau paham terlebih dahulu, dan karena memahaminya lantas ia mengimaninya. Ini iman secara rasional. Dalam undkapan ini orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu hahrus diimaninya, malainkan orang mengerti kalau ia mengimaninya.

Sifat ini berlawanan dengan sifat Filsafat Rasional. Dalam Filsafat Rasioanl pengertian itulah yang didahulukan; setelah dia mengerti barulah mungkin ia diterima dan kalau mau diimani. Mengikuti inilah maka Filsafat Abad Pertengahan terletak pada ungkapan itu. Apakah kaidah ini (iman agar mengerti) dapat dianggap sebagai rumus filsafat yang dianggap umum? Jawaban yang jelas atas pertanyaan ini sulit dikemukakan. Yang dapat dikemukakan adalah bahwa kaidah ini kurang dianut, juga dalam Filsafat Islam. Contoh yang menonjol dalam Filsafat Islam adalah Al-Ghazali. Didalam perbandingan ini kita seakan menemukan keganjilan. Mengapa penerapak kaidah itu dalam Kristen menimbulkan akibat Sains dan Filsafat terhadap perkembangannya, tetapi penerapak rumus ini dalam perkembangan pemikiran Islam tidak menyebabkan tersendatnya perkembangan filsafat dan sains dalam Islam.

       Kelihatannya Filsafat Credo Ut Intelligem itu tidak merugikan perkembangan Filsafat dan Sains seandanya wahtu yang dijadikan andalan adalah wahyu yang tidak berlawanan dengan akal logis. Hal iini kita temukan misalnya dalam Islam. Filsafat didalam Islam berkembang amatpesat karena keyakinan Islam tidak ada yang berlawanan dengan akal logis; yang ada adalah bagian-bagaian yang berada didaerah Supralogis dan Suprarasional.

       Sains, Filsafat dan iman (rasa) sebenarnya merupakan keseluruhan pengetahuan manusia. Akan tetapi pembatasan daerah kerja (kapling)nya masih harus jelas. Sains bekerja pada objek-objek sensasi, Filsafat pada objek-objek abstrak logis, sedangkan hati (rasa) bekerja pada daerah-daerah Supralogis. Yang ini sesugguhnya telah disebut oleh Bonaventura. Menurut pendapatnya manusia memiliki tiga potensi (kmampuan): indera, akal dan kontemplasi. Hasil kerja masing-masing potensi itu tidak boleh berlawanan, tetapi boleh tidak sama. Tidak sama itu bukan berlawanan. Kekurang jelasan perbatasan daerah inilah yang sering terjadinya bentrokan antara sains, filsafat, dan iman.

       Kelemahan lain dalam Filsafat Kristen pada Abad Pertengahan itu adalah sifatnya yang terlaluyakin terhadap penafsiran teks kitab suci. Penafsiran sebanarnya tidak lebihberarti daripada sekedar filsafat juga. Jadi penafsiran pada dasarnya bersifat relatif kebenarannya, tidak absolut. Karena filosof pada zaman itu rata-rata menjabat sebagai orang suci (Saint), makafilsafat mereka menempati pengertian agama yang absolut dalam dirinya. Iinilah barangkali yang menjadikan tekanan-tekanan psikoloogis maupun fisis terhadap tokoh lain yang pemikirannya berbeda dengan pemikiran Filosof Gereja. Pada Abad Pertengahan itu Agama Kristen boleh dikatakan bukan lagi kitab suci, malainkan penafsiran kitab suci oleh para Saint tersebut. Berbedanya pemikiran Copernicus dengan Galileo dengan pemikira tokoh-tokoh Gerejatelah menyebabkan kedua tokoh tersebut dihukum. Sebenarnya pendapat kedua ilmuwan tersebut tidak berlawanan dengan kitab Suci, melainkan berbeda dengan pendapat Tokoh Gereja yang mengatasnamakan Kitab Suci, berarti Kitab Suci itu salah karena bukti-bukti menunjukkan bahwa kedua Ilmuwan itulah yang benar.

       Uraian tadi manunjukka bahwa pada Abad Pertengahan ini, iman (hati) benar-benar telah menang melawan akal dan berhasil mendominasi jalan hidup Abad Pertengahan (diBarat). Akibat-akibatnya amat mudah dipahami; filsafat dan sains berhenti; jangankan menemukan yang baru, menjaga warisan Yunani ini saja tidak mampu.

        Abad Pertengahan melahirkan juga filosof yang lumayan, yaitu Thomas Aquinas. Ia lahir pada masa-masa menjelang habisnya kekuatan agama Kristen mempengaruhi jalan pemikiran. Tekanan terhadap pemikiran rasional pada waktu ia hidup telah berkurang. Oleh karena itu, ia berhasil mengumumkan Filsafat Rasionalnya. Yang terkenal adalah beberapa pembuktian adanya Tuhan yang masih dipelajari orang hinga saat ini. Tetapi filsafatnya ini tetap saja tidak disenangi oleh banyak tokoh ketika itu.[6]

 

C.  Tokoh-Tokoh Filsafat Pada Zaman Patristik dan Peranannya

1.   Augustinus (354-430)

       Augustinus mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah filsafat. Mungkin penamaan Abad Agustinus (The Age of Agustine) seperti yang telah ditulis oleh Mayer dalam bukunya disebabkan oleh Augustinus telah meletakkan dasar-dasar bagi pemikiran Abad Pertengahan mengadaptasikan Platonisme dengan idea-idea Kristen. Ia memberikan formulasi yang sistematis tentang Filsafat Kristen, suatu filsafat yang dominan terhadap Khatolik dan Protestan.

       Stuart Hampshire dalam introduksi bukunya, The Age of Reason, menyatakan bahwa filsafat adalah suatu kegiata pikir manusia yang bersinambung. Pikiran seorang tokoh pada masa tertentu baru jelas dipahami setelah melihat hubungannya dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kalau demikian, maka beberapa pemikir sebelum Augustinus perlu dibicarakan terlebih dulu. Mungkin saja pemikir iru merupakan latar belakang pemikiran Augustinus.

       Augustinus lahir di Tagasta, Numidia (sekarang Algeria). Pada 13 Nopember 354. Tatkala berumur sebelas tahun ia dikirim kesekolah Madaurus. Lingkungan itu telah mempengaruhi perkembangan moral dan agamanya. Tahun 369-370 dihabiskannya dirumah sebagai penganggur, tetapi suatu bacaan tentang Cicero pada bukunya Hortensius, telah membimbingnya kefilsafat.

       Pada Tahun 388 ia mengabdikan seluruh dirinya kepada Tuhan dan melayani pengikut-pengikutnya, kemudian ia menjual seluruh warisan dan uang hasil penjualannya tersebut dikasihkan kepada fakir-miskin. Pada tahun 395-396 ia ditahbiskan menjadi seorang Uskup di Hippo. Tahun terakhir hidup-hidupnya adalah tahun-tahun peperangan bagi imperium Romawi. Pada bulan 28 Agustus 430 ia meninggal dunia dalam kesucian dan kemiskinan yang memang sudah lama dijalaninya.

       Filsafat Augustinus merupakan sumber atau reformasi yang dilakukan oleh Protestan, khususnya kepada Luther, Zwingli, dan Calvin. Kutukannya kepada seks, pujianya kepada kehidupa pertapa, pandangannya tentang dosa asal, semuanya ini merupakan faktor yang memberikan kondisi untuk wujud pandangan-pandangan Abad Pertengahan.

Filsafatnya tentang sejarah berpengaruh terhadap gerakan-gerakan agama dan pada pemikiran sekular. Dalam pertarungan berbagai ideologi politik sekarang, ada kesamaan dalam keabsolutan, dalam dogmatisme, dan juga dalam fanatisme. Paham toesentris pada Augustinus menghasilkan suatu revolusi dalam pemikiran orang Barat. Anggapannya yang meremehkan kepentingan duniawi, kebenciannya terhadap teori-teori kealaman, imannya kepada Tuhan tetap merupakan bagaian peradaban modern. Sejak zaman Augustinuslah orang Barat lebih memiliki sifat introspektif.

       Karta Augustinus yang paling berpengaruh adalah The City of God. Karya itu muncul disebabkan oleh adanya perampasan Roma oelh pasukan Alarik. Kejadian ini memiliki konsekuensi yang besar. Banyak orang Roma menganggap bahwa perampasan itu terjadi karena ketidak patuhan orang-orang Roma kepada Dewa-dewa lama dan penerimaan mereka terhadap agama Kristen. Mereka juga ragu apakah tidak salah pilih dengan agama Kristen. Karena banyak yang meilih agama Kristen kemudian melakukan praktek kafir, sebagian lain menjadi orang yang ragu karena merasa Tuhan yang mereka semabah tidak mempunyai kekuatan atas alam semsta ini. Untuk menjawab masalah itu Augustinus menulis The City of God. Buku itu berisi tidak hanya penolakan atas keraguan yang tersebar ketika itu, tetapi juga mengetengahkan suatu sejarah filsafat yang sistematis yang menarik perhatian orang-orang pada Abad Keduapuluh sekarang.

       Augustinus tidak mempercayai bahwa sejarah adalah suatu siklus sejarah lebih dari itu; ia merupakan kejadian yang diatur oleh Tuhan. Jadi sebenarnya sejarah juga mempunyai suatu permulaan dan suatu akhir. Permualaannya adalah saat kejatuhan manusia, dan akhirnya adalah kemenangan Tuhan mengatasi kejahatan. Filsafat sejarah seperti ini adalah Dilsafat Sejarah dibimbing oleh Toelogi. Sejarah tidak dapat dijelaskan dengan memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, sejarah dapat dipahami melaluihukum-hukum Tuhan.

       Buku The City of God dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama yaitujilid 1-10 membicarakan tanggungjawab Kristen terhadap perpecahan Romawi, sifat-sifat imperialistis, tidak pernahnya Romawi memperhatikan masyarakat taklukannya. Bagian kedua yaitu jilid 11-12 membicarakan asal-usul manusia, dunia Tyhan dan dunia Setan.

       Mengenai siksa neraka Augustinus mengatakan bahwa ia bersifat kekal. Origen berpendapat bahwa orang, bagaimanapun jeleknya, tidak akan kekal dineraka, Augustinus menolak pendapat ini. Kalau pendapat Origen benar, mengapa tidak berlaku bagi Setan? Demikian kata Augustinus.

2. Anselmus (1033-1109)

       Dalam membicarakan Filsafat Abad Pertengahan St. Anselmus tidak dapat dilewatkan begitu saja. Tokoh inilah yang mengeluarkan Credo Ut Intelligam yang dapat dianggap merupakan cirri utama Filsafat pada Abad Pertengahan. Ia berasal dari Bangsawan di Aosta, Italia. Seluruh kehidupannya penuhi oleh kepatuhannya kepada Gereja. Tahun 1093 ia menjadi Uskup Agung Canterbury. Dalam dirinya mengalir arus Mistisime, dan iman merupakan masalah utama baginya. Ada tiga karyanya yaitu Monologium yang membicarakan keadaan Tuhan, Proslogium yang berisi tentang dalil-dalil adanya Tuhan, dan Cur Deus Homo yang berisi ajarannya tentang tobat dan petunjuk mengenai penyelamatan melalui Kristus.

       Credo Ut Intelligam menggambarkan bahwa ia mendahulukan iman daripada akal. Arti ungkapan itu adalah Percaya baru mengerti; secara lebih sederhana percayalah telebih dahulu supaya mengerti. Ia mengatakan bahwa wahyu diterima terlebih dahulu sebelum kita mulai berfikir. Jadi akal hanyalah sebagai pembantu wahyu. Pengaruh Plato besar terhadap pemikirannya.

       Ia berpendapat semua makhluk memiliki sejumlah kebaikan itu menunjukkan adanya kebaikan Mahatinggi yang disana semua makhluk berpartisipasi. Tuhan itu kebesarannya tidak terpikirkan (kebesarannya Mahabesar). Itu tidak mungkin hanya ada dalam pikiran. Ia juga ada dalam kenyataan (jadi benar-benar diluar pikiran). Tuhan Mahabesar ada dalam pikiran dan ada juga diluar pikiran. Secara kasar argument ini mengajarkan bahwa apa yang dipikirkan, berarti objek ini benar-benar ada tidak mungkin ada sesuatu yang hanya ada didalam pikiran, tetapi diluar pikiran objek itu tidak ada.

       Tentang penyelamatan, ajarannya sama dengan Filsuf Abad Pertengahan lainnya:manusia celaka karena jatuhnya Adam, jatuhnya Adam memang karena dikehendaki oleh Tuhan, penyelamatan hanya diperoleh melalui Kristus.

3. Thomas Aquinas (1225-1274 M)

       Ia lahir di Roccasecca, Italia, pada tahun 1225 dari keluarga Bangsawan baik Bapakanya maupun Ibunya. Melalui Gurunya, Albertinus Magnus, Aquinas belajar tentang alam, ia berfilsafat lebih empiris daripada orang-orang yang diikutinya. Dikatakan demikian karena ia lebih banyak menggunakan observasi terhadap alam dalam menopang argument-argumennya. Sekalipun demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa Aquinas menganggap bahwa penjelasan Naturalis lebih tinggi dari pada atau setingkat dengan penjelasan Metafisika. Dalam hal Kosmologi ia masih menganut Hipotesis Geosentris.[7]

       Dalam seluruh teorinya mengenai pengetahuan, Aquinas dibimbing oleh pandangannya bahwa pikir (reson)dan iman adalah tidak bertentangan. Akan tetapi, dimana batas kedua-duanya? Menurut pendapatnya, semua objek yang tidak dapat diindera tidak akan dapat diketahui secara pasti oleh akal. Oleh karena itu, kebenaran ajaran Tuhan tidak mungkin dapat diketahui dan diukur dengan akal. Kebenaran ajaran  Tuhan diterima dengan iman. Sesuatu yang tidak dapat diteliti dengan akal adalah objek iman. Pengetahuan yang diterima atas dasar iman tidaklah lebih rendah daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Paling tidak, kebenaran yang diterima oleh akal tidak akan bertentangan dengan ajaran wahyu.

       Selanjutnya Aquinas mengajarkan seharusnya kita menyeimbangkan akal dan iman, akal membantu membangun dasar-dasar filsafat Kristen. Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa hal itu tidak selalu dapat dilakukan karena kanl terbatas. Akal tidak dapat memberikan penjelasan tentang kehidupan kembali (resurrection) dan penebusan dosa. Akal juga tidak mampu membuktikan kenyataan esensisal tentang keimanan Kristen. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa dogma-dogma Kristen itu tepat sebagaimana telah disebutkan dalam firman-firman Tuhan.

       Berdasarkan uraian itu kita dapat mengetahui adanya dua jalur pengetahuan dalam filsafat Aquinas. Jalur itu ialah jalur akal yang dimulai dari manusia dan berakhir pada Tuhan. Dan yang kedua adalah jalur Tuhan ialah jalur iman yang dimulai dari Tuhan (wahyu), didukung oleh akal.

       Aquinas membagi pengetahuan menjadi tiga bagian pengetahua Fisika, Matematika, dan Metafisika. Dari yang tiga Metafisika inilah yang mendapat banyak perhatian darinya. Menurut pendapatnya dapat menyajikan abstraksi tingkat tertinggi. Sehunbungan dengan teorinya diatas maka didalam filsafat Aquinas filsafat dapat dibedakan dari agama dengan melihat penggunaan akal. Filsafat ditentukan oelh penjelasan sistematis akliah, sedangkan agama ditentukan oleh keimanan. Sekalipun demikian, perbedaan itu tidak terlihat begitu jelas karena pengetahuan adalah gabungan dari kedua-duanya. Agama dapat pula dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah agama natural yang dibentangkan diatas akal, dan yang kedua adalah agama wahyu yang dibentangkan diatas iman.

       Didalam doktrinnya tentang pengetahuan Aquinas adalah realis Moderat. Ia tidak sependapat dengan Plato yang mengajarkan bahwa alam semesta ini menpunyai eksistensi yang objektif. Ia mengajarkan bahwa alam semesta ini berada dalam tiga cara:pertama sebagai sebab-sebab didalam pemikiran Tuhan; kedua sebagai idea dalam pemikiran manusia; dan ketiga sebagai esensi sesuatu. Dapat dicatat disini bahwa Aquinas mencoba mennjebatani dua ekstrimitas. Ekstrimitas Nominalisme dan Ekstriminitas Realisme. Nominalisme adalah suatu ajaran dalam Filsafat Skolastik yang menyatakan bahwa tidak ada eksistensi bastrka yang sungguh-sungguh objektif; yang ada hanyalah kata-kata dan nama-nama; yang benar-benart real adalah fisik yang particular ini saja. Realisme adalah suatu ajaran dalam filsafa tyang mengatakan bahwa realitas Universal abstrak sama dengan atau lebih tinggi dari realitas.

       Aquinas melakukan harmonisasi antara kedua ekstrem itu cara memperhatikan bahwa alam semesta mempunyai berbagai pengertian bila diterapkan pada Tuhan, manusia, dan alam. Sains menurutnya, berkenaan dengan alam jenis ketiga; yaitu alam sebagai esensi. Konsep-konsep sains tidak a priori sebab manusia dilahirkan tidak membawa idea-idea immaterial. Menurut pendapat Aquinas pikiran tidak akan berisi apa-apa apabila tidak menggunakan indera. Proses pengetahuan dimalai dari adanya penginderaan yang memberikan kepada kita presepsi tentang objek didalam alam. Persoalan yang dihadapkan kepada Aquinas adalah bagaiamana presepsi ini diterjemahkan kedalam idea-idea yang dapat dipikirkan. Untuk menyelesaikan masalah ini Aquinas menggunakan istilah intelek aktif yang bertugas mengabstraksikakn unsure-unsur dalam alam semesta lalau menciptakan jenis-jenis yang dapat dipikirkan. Intelek aktif itulah yang memberikan kepada kita keadaan susunan alam semesta. Melalui intelek aktif itu kita dapat memahami prinsip-prinsip pertama yang mengatur semua kenyataan.

       Pengalaman menurut Aquinas bukanlah suatu proses yang kacau pengalaman menyatakan prinsip-prinsip universal tentang eksistensi, kualitas-kualitas particular tidaklah terpisah-pisah; mereka mempunyai kualitas esensial dalam keseluruhan. Tugas sainslah untuk mengklasifikasikan dan menguraikan kualitas-kualaitas itu.

       Kalau dibandingkan dengan pandangan modern tentang sains, teori Aquinas sangat berbeda. Menurut pendapat sains Modern pencapaian terbaik dalam sains adalah  bila ia lebih menjurus kepada objek-objek yang particular. Sains modern tidak memberikan penghargaan yang tinggi kepada masalah-masalah immaterial.Bagian immaterial itu merupakan bagian pembahasan metafisika. Sedangkan pada Aquinas tadi, sains akan semakin tinggi nilainya bila ia semakin universal.[8]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] Drs. Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), 191

[2] Apologet adalah orang yang secara resmi menentang ajaran-ajaran sesat dengan mengemukakan ajaran-ajaran iman yang benar. Mereka dikenal juga sebagai pembela-pembela ajaran yang benar.

[3] Dr. Kondrad Kebug, Filsafat Itu Indah (Jakarta: Pusatakaraya, 2008), 180.

[4] Prof. DR. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandunh: PT Remaja Rosakarya, 2008), 66.

[5] Drs. Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat (Jakarta: PT Bumi Aksara 2003), 191.

[6] Prof. DR. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosakarya, 2008), 116.

[7] Paham Geosentris adalah paham yang berpendapat bahwa bumi adalah pusat jagat raya. Pendapat ini dipelopori oleh Thales dan Ptolomeus.

[8] Prof. DR. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosakarya, 2008), 105.

 
            Dari segi etnografis, tidak ada satu kelompok manusia pun di luar dunia yang tidak mempunyai kepercayaan bagaimanapun sederhananya masyrakat atau kepercayaan itu sendiri. Karena itu, agama atau kepercayaan merupakan lembaga yang tertua dalam sejarah dunia yang melibatkan dari jauh ke dalam persoalan masyarakat. Dalam hubungan itu juga, agama termasuk lembaga yang tetua dalam masyarakat yang prihatin terhadap permusuhan dan perdamaian dalam masyarakat. Hal ini bisa dilihat misalnya, pada upacara-upacara ibadah dan tempah ibadahberfungsi sebagai sentrum dan integrator, sebagai wadah trenga dei (pedoman Allah) bagi kedua belah pihak yang berpegang atau meminjam istilah Karl Manheim, maka agama berfungsi sebagai “pemberi makna dan penjelas atau hidup bermasyarakat.” . 

            Frithjof Schuon berusaha untuk menganalisis hubungan antara agamqa. Dasar pemikirannya adalah setiap hal memiliki persamaan sekaligus perbedaan dengan hal-hal lainnya. Persamaannya adalah adanya hal-hal itu sendiri. Perbedaaannya adalah keragaman yang dapat diperbandingkan. Demikian pula halnya dengan agama. Bila tidak ada persamaan pada agama, kita tidak akan menyebutnya dengan nama yang sama; “agama”. Bila tidak ada perbedaan diantaranya, kita pun tiodak akan menyebutna dengan kata majemuk, “agama-agama”. Dimanakah akan di tarik garis antara kesatuan dan kemajemukan diantara keduanya? )F. Schuon, 1987: ix)

            Untuk menjawab masalah ini, dia mengajukan teori tentang “perbedaaan antara hakikat dan perwujudan” : “Esoteris lawan Eksoteris”. Kajian ini didasarkan pada ajaran yang bersifat metafisik, bukan bersipat filosofis. Schuon menarik garis pemisah antara yang eksoteris dan esoteris.

            Perbedaaan dasar bukanlah agama yang satu dan agama yang lain. Dapat dikatakan, garis pemisah itu bukannya membagi perwujudan histories yang besar dari agama-agama secara vertical. Garis pemisah tadi bersifat horizontal dan hanaya ditarik satu kali membelah berbagai esoterisme, sedangkan di bawahnya terletak paham eksoterisme sebagaimana dapat dilihat pada bagan di bawah ini :   

SHAPE\* MERGEFORMAT Adikodrati

Esoterisme

Eksoterisme

1. Pengetahuan Metafisik

2. Asal/sumber kebenaran

atas kebenaran universal

1. Pengetahuan teologi/ Dogmatis

2. Kebenaran persial atau

perwujudan dari kebenaran yang

Universal
            Mungkin dapat dibentik bahwa garis horizontal ini tidak begitu orisinil seperti dugaan semula karena secara esoteris, semua agama pada dasarnya sama dan secara eksoteris hanya berbeda dalam bentuknya dan ini sudah sering dikemukakan. Menurut Schuon, hidup ini mengandung tingkatan-tingkatannya. Dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah di tingkat tertinggi (Adikordati),  dan terdapat titik temu berbagai agama, sedangkan di tingkat bawahnya, agama-agama tadi saling berbeda.

            Apa yang tampak pada garis-garis diatas adalah kesatuan yang absolute, kategoris dan uth, secara antropologis, kesatuan ini menutup kemungkinan munculnya perbedaaan akhir antara yang manusiawi dan ilahi. Adapun secara epistimologis, kesatuan yang sama meniadakan kemungkinan bagi munculnya perbedaan akhir antara mengetahui dan diketahui.

            Inilah yang memungkinkan kita memahami, versi Schuon tentang perbedaan hakikat dan perwujudan agama sangat penting artinya menurut pandangannya. Kelemahan versi lain mengenai perbedaan ini karena terlalu cepat menyatakan adanya kesatuan. Padahal kesatuan tersebuttidak terjangkau karena bercorak eksoteris, tanpa perbedaan tersebut, akan terjadi kebingungan yang tidak dapat dielakan, sebagaimana dikatakan dalam pengantar buku Attitudes toward other Religions (Own Thomas, ed, 1969 :22) :kadang-kadang ditekankan bahwa semua agama sama benarnya, tetapi hal ini kelihatannya merupakan suatu pendapat yang lemah karena agama bermacam-macam itu mempunyai pandangan yang sangat berbeda tentang realitas jika bukan bertentangan satu sama lain.

            Jelaslah bahwa kesatuan berbagai agama hanya terjadi pada tingkat esoteris. Ia bersembunyi dan bersifat rahasia, baukan karena orang mengetahuinya, melainkan karena kebenaran yang merupakan rahasia itu terbenam didalam timbunan unsure manusiawi. Inilah sebabnya mengapa mereka tidak menjelaskan secara meyakinkan kepada orang banyak.

            Untuk menjelaskan perbedaan antara pengetahuan metafisk dan pengetahuan teologis, kita ambil contoh dari dunia indrawi. Pengetahuan metafisk atau esoteris. Jika di ungkapkan dalam symbol religius adalah kesadaran mengenai hakikat cahaya yang tidak berwarna dan mengenai cirinya sebagai sumber terang sejati. Suatu kepercayaan religius tentang mengatakan bahwa cahaya itu berwarna merah dan bukan hijau, sedangakn kepercayaan religius lainnya menyatkan sebaliknya. Kedua pertanyaan tadi adalah benar sejauh keduanya membedakan cahaya dari kegelapan, tapi tidak benar kalau cahaya itu mereka anggap sama dengan suatu warna saja.

            Dalam pengertian lain, pengetahuan metafisk merupakan sumber asal kebenaran dansumber asal adikodrati, sedangakn pengetahuan teologis merupakan perwujudan dari adikodrati tadi, dan hanya bisa difahami dengan bahasa dogmatis. Dengan demikian, berbagai agama yang ada merupakan terjemah dari kebenaran universal dengan bahasa dogmatis. Karena itu, walaupun kebenaran intrinsic dari dogma tidak dapat di pahami semua orang, termasuk melalui kemampuan intelek. Tapi hanya bisa dipahami lewat iman, ini merupakan satu-satunya cara yang mungkin bagi sebagian besar manusia untuk berpartisipasi dalam kebenaran ilahi.

            Dari pembahasan diatas Nampak jelas bahwa pada dasarnya, agama-agama yang ada di dunia berasala dari satu sumber, satu kebenaran universal, yakni adikodrati. Hanya sebutan untuk adikodrati tersebutdapat berbeda sesuai dengan wujud eksoteris dari pengetahuan esoteris (metafisik). Khususnya untuk ungkapan eksoteris, perwujudan berbagai agama menjadi persoalan tersendiri. Bagaimana cara yang paling tepat, agar diantara agama-agama tersebut terjadi keharmonisan dan tidak menimbulkan perbedaan yang perlu diperdebatkan.

 

            Tentu saja hal ini melalui batasan-batsan keyakinan tertentu sesuai dengan apa yang dianjurkan dan diajarkan oleh masing-masing agama tersebut. Hal ini disadari, karena karena akhirnya masing-masing agama mengakui dan meyakini kebenaran Dognatis. Paling tidak, dapat membukakan dialog antar agama, dan hal ini hanaya bisa dimulai dengan mengandaikan keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Misalnya mungkin baru timbul, bila mulai dipersoalkan secara terperinci, apa yang dimksud dengan keterbukaan, segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka  terhadap agama lain?  Pada tingkat mana keterbukaan nya itu dapat dilaksanakan atau dapat ditolerir dan juga dalam modus yang mana keterbukaan itu dapat dilaksanakan?

            Dengan kata lain  ini juga perlu di rumuskan juga batas-batas kemungkinan keterbukaan tersebut, karena itu, yang perlu mendapat perhatian bukanlah bagaimana agama sebagai suatu sitem subtansial dengan ajaran, doktrin dan kewajiban-kewajibannya melihat persamaan dan perbedaannya dengan suatu agama lain, tetapi bagaimana agama menjadi jalan dari sebab seseorang atau suatu sekelompok  orang terbuka kepada kelompok orang yang beragama lain.

            Dalam hubungannya dengan kajian esoteris dan eksoteris dalam mengkaji agama, baik agama kita sendiri maupun agama orang lain, perlu dibedakan dua bagian:

  1. External Religion, yakni bagian luar agama, seperti ajaran-ajaran, symbol-simbol, praktek-praktek dan lain-lain yang selama ini di pandang sebagai agama.
  2. Internal religion, bagian dari agama, yang tiada lain ada pada diri manusia. Internal religion merupakan inti dari personalisasi agamanya smith dalam memahami agamayakni melalui pengakuan para pengikut dan pelaku agama, dan smith menekankan bahwa agama yang sebenarnya terletak pada bagian ini.
Setiap pelaku agama akan berbeda dalam memahami doktrin-doktrin, symbol-simbol atau ajaran-ajarannya, oleh karena itu, untuk memahami kebenaran agama tida lain apa yang dikatakan benar olah pengamatannya, sehingga bagian objek studi agama bukan pada bagian yang pertama (external religion).  Tetapi pda diri manusia (internal religion).

Max Weber, sebagaimana dikutip oleh Brian S. Turner, seringkali mengisyratkan bahwa dalam mengkaji dan menganalisis agama bukan dalam arti “apakah agama itu”, tetapi untuk menulusuri kondisi dan dampak teodisi budaya yang berbeda-beda. Karena itu hakikat beragama adalah menjadikan hidup bermakna dan menyelaraskan kesenjangan antara harapan-harapan dan pengalaman actual. Dengan demikian pendekatan Internal consistency untuk memahami arti dan makna agama dari para pemeluknya adalah sangat penting.

Berdasarkan halitu, sebagai bagian dari akibat semakin intensifnya pergaulan dan proses komunikasi antar bangsa, maka antara suatu agama lainnya harus berhubu gan secara terbuka dan bukan bagian entitas yang tertutup dalam sebuah masyarakat yang terbuka pula. Disadari, bahwa pluralitas agama akan muncul ditempat yang berbeda-beda dan agama tidak bisa lagi hidup secara terisolasi.

Solarso Sopater, memberikan pandangan bahwa pluralisme terjadi bukan hanya sebagai suatu proses external, tetapi juga internal. Hal ini disebabkan adanya kontak ditempat agama-agama itu hidup, yang juga menentukan corak-corak agama itu semdiri. Sebagai contoh, kebaragamaan Kristen di Eropa berbeda dengan keberagamaan Kristen di Asia, Afrika atau Amerika latin. Demikian pula keberagamaan islam di negri-negrfi jazirah Arab berbeda dengan islam yang berkembang di Indonesia ataupun di Negara-negara lainnya. Dengan demikian, terlihat bahwa prosese pluralisasi menimbulkan kesadaran atau kemajemukan ekspresi keagamaan yang ada di tempat berbeda.
 


 

I. Perihal Neraka.

 

 

1.  Sudah datangkah kepadamu berita (Tentang) hari pembalasan?

2.  Banyak muka pada hari itu tunduk terhina,

3.  Bekerja keras lagi kepayahan,

4.  Memasuki api yang sangat panas (neraka),

5.  Diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.

6.  Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri,

7.  Yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.

 

       Menurut Hadist yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir serta Hadist-hadist yang lainnya bahwasanya Rosulullah saw membaca surat Al-Ghasyiyah dan surat Al-A’la pada shalat Ied dan shalat Jum’at.

 

       Al-Ghaasyiyah adalah bagian dari nama-nama hari  kiamat, demikian menurut Ibnu katsir. Adapun yang dimaksud dengan Al-Ghaasyiyah sebagai nama surat dan tertulis pada ayat ini ialah betapa hebatnya hari kiamat itu kelak. A.Hassan dengan tafsir Al-Furqan mengartikannya dengan dahsyat. H. Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin H.S. memberinya arti yang menyelubungi; karena semua orang pada hari itu akan diselubungi oleh rasa ketakutan dan kengerian menunggu keputusan nasibnya.

 

       Sedangkan menurut Al-Maraghi dalam tafsirnya diterangkan makna yang terkandung dalam kata Al-Ghasyiyah adalah hari kiamat. Dikatakan demikian karena pada hari itu kengerian dan kesengsaraan terjadi dan akal manusia tertutup.

                                                                                                                                             

       “Sudahkah datangkah kepadamu berita (Tentang) hari pembalasan/ hari kiamat ?” Kalimat ini tidak dimaksudkan sebagai kalimat Tanya sesungguhnya. Ia hanya dimaksudkan sebagai pembangkit rasa takjub bagi pendengarnya, disamping untuk memancing rasa ingin tahu pendengarnya kalimat ini berupaya mengarahkan pikiran dari pendengarnya tentang hari kiamat.  

 

       Allah memerinci keadaan manusia di mauqif ( arah-arah Mahsyar) pada hari itu. Mereka terbagi menjadi dua golongan, yaitu kaum kuffar yang durhaka dan kaum mu’minin yang baik. Tentang golongan pertama Allah berfirman pada ayat berikut ini :

                                         

       Pada hari itu tampak wajah-wajah penuh kehinaan dan kenistaan, oleh sebab menyaksikan keadaan yang sangat mengerikan.

        

       Berikut ini firman Allah yang bermakna senada :

 

 “Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Tuhan kami, kami Telah melihat dan mendengar, Maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin."(As-sajdah, 32:12)

 

Dan firman Allah yang lain :

 

“Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan tunduk Karena (merasa) hina, mereka melihat dengan pandangan yang lesu. dan orang-orang yang beriman berkata: "Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang kehilangan diri mereka sendiri dan (kehilangan) keluarga mereka pada hari kiamat. Ingatlah, Sesungguhnya orang- orang yang zalim itu berada dalam azab yang kekal.”(Asy-Syura, 42:45).

 

       Pada hakikatnya rasa hina dan nista terdapat dalam jiwa seseorang, tetapi dalam ayat perasaan tersebut diungkapkan lewat wajah. Hal ini tiada lain karena biasanya wajah seseorang menerjemahkan perasaan yang ada dalam jiwanya. Sehingga rasa hina dan nistanya pun tampak dari roman mukanya.  

 

       Pada ayat selanjutnya Allah menggambarkan sifat lain dari wajah-wajah tersebut melalui firman-Nya :

 

       Sesungguhnya orang-orang kafir tatkala hidup di dunia mereka bekerja keras dan penuh kesungguhan. Tetapi Allah menolak semua amal perbuatan mereka. Sebab mereka berbuat tanpa landasan keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Padahal keimanan ini merupakan tiang utama bagi diterimanya amal perbuatan seseorang di hadapan Allah. Lebih dari itu mereka berbuat tanpa mengharapkan keridaan-Nya. Bahkan apa yang mereka lakukan dengan sepenuh daya dan upaya, tiada lain hanyalah untuk memusuhi dan memerangi Allah serta Rasul-Nya.

 

       Orang-orang yang berwajah demikian akan merasakan panasnya api neraka dan siksaanya. Sebab amal mereka hanya mendatangkan kerugian belaka. Menurut Al-Qasyani, setelah orang-orang itu dimasukan kedalam Neraka bekerja keraslah ia, berpayah lelah, berupaya hendak naik dan lari dari dalamnya karena sakitnya azab. Namun usaha itu tetap saja gagal, karena siksaannya belum selesai. Dan menurut al-Qasyani pula boleh juga ayat ini ditafsirkan bahwa keadaan orang-orang kafir itu semasa hidup didunia adalah orang yang selalu bekerja keras hanya untuk kemewahan dunia saja tanpa mementingkan untuk kehidupan akhirat.  

 

       Kesimpulannya sesungguhnya orang-orang  yang kafir tatkala hidup didunia mereka benar-benar telah beramal dan untuk itu mereka bersusah payah. Tapi hasilnya tidak ada, sehingga mereka kecewa dan menyesal.

 

       Kemudian Allah swt menjelaskan balasan yang akan mereka terima, melalui firmannya :

 

 

       Apakah hasil dari kerja keras berpayah lelah itu ? Apakah hasil dari tenaga yang telah dihabiskan itu ? Jawabannya adalah sebagaimana dari suatu pepatah “Diraut ranjau dihamburi” artinya segala kerja keras itu hanya menghasilkan nyala api neraka.

 

       Orang-orang yang berwajah hina tersebut akan merasakan panasnya api neraka. Tentang panasnya api Neraka kita tidak perlu membahas hakikatnya. Kewajiban kita hanya mengimani keberadaan dan keadaan tersebut. Dan Neraka adalah tempat bagi sekutu-sekutu perilaku kebathilan yang akan dimasukkan kedalamnya.

 

       Sesungguhnya para penghuni Neraka, jika mereka merasa haus dan dahaga, segera kepada mereka didatangkan air dengan kadar panas yang tinggi yang berasal dari sumber air neraka. Sehingga bukan kesegaran yang diperoleh akan tetapi penderitaan yang didapat.

 

3

       Didalam dunia ini pun ada orang yang merasakan demikian “Nasi dimakan rasa sekam, air diminum rasa duri.” Atau laksana orang meminum air laut setelah diminum tetap saja dahaga tidak hilang. Pengalaman seperti ini akan dirasakan diakhirat. Setelah menjelaskan perihal minuman selanjutnya dijelaskan perihal makanan penghuni Neraka, melalui firmannya :

 

       Sesungguhnya apabila penghuni Neraka merasa lapar dan meminta makanan didatangkan kepada mereka apa yang dinamakan Dari’, yaitu tumbuhan yang tidak membuat hewan menjadi gemuk. Dan bila mereka tidak memakannya keadaan mereka akan bertambah jelek. Selanjutnya Allah swt menjelaskan tentang ketiadaan manfaat makanan tersebut melalui firmannya :

       Makanan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai pelepas rasa lapar dan tidak pula menggemukan badan. Makanan tersebut tidak berfaedah, makanya Allah swt menamakannya Ad-Dari’. Sesungguhnya makanan tersebut hanya sebuah kiasan saja. Sebab di alam akhirat tidak ada kejadian dengan pertumbuhan badan dan pelapukan sesuatu sebagai mana kehidupan di dunia. Semua yang terjadi di alam akhirat diungkapkan secara analogis dengan kejadian di dunia, dan bukan berarti sama atau sejenis.

 

       Dalam surah al-Haqqah disebutkan makanan penghuni Neraka :

 

 “Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah”. (al-Haqqah, 69:36)

 

       Disebut pula dalam surah al-Waqi’ah :

 

51.  Kemudian Sesungguhnya kamu Hai orang-orang yang sesat lagi mendustakan,

52.  Benar-benar akan memakan pohon zaqqum, (al-Waqi’ah, 56:51-52)

 

       Dan dalam surat ad-Dukhan disebutkan :

 

 

 

43.  Sesungguhnya pohon zaqqum itu

44.  Makanan orang yang banyak berdosa.(ad-Dukhan, 44:43-44)

 

       Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa makanan yang ada di Neraka sesuai dengan kondisi Akhirat, yang diungkapkan dalam ibarat yang berbeda-beda pula. Sebagai gambaran pada kita tentang betapa kotor dan menjijikannya makanan tersebut. Oleh sebab itu kita dengan segala daya dan upaya berusaha menjauhi agar jangan sampai jatuh kedalam Neraka. Untuk itu dengan sepenuh hati kita harus menjauhi segala Aqidah yg rusak dan segala perbuatan yang mendatangkan kerugian bagi kita di akhirat kelak.

 

 

II. Perihal Surga.

 

8.   Banyak muka pada hari itu berseri-seri,

9.   Merasa senang Karena usahanya,

10.  Dalam syurga yang tinggi,

11.  Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tidak berguna.

12.  Di dalamnya ada mata air yang mengalir.

13.  Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan,

14.  Dan gelas-gelas yang terletak (di dekatnya),

15. Dan bantal-bantal sandaran yang tersusun       .

16. Dan permadani-permadani yang terhampar

 

       Ketika Abu bakar As-shiddiq telah merasa dekat ajalnya beliau berwasiat kepada sahabat yang lainnya, supaya mengangkat Umar bin khattab sebagai khalifah penggantinya. Setelah Umar menerima wasiat tersebut beliau pergi menemui Abu bakar As-shiddiq dan setelah bertemu Abu bakar berpesan :

 

       “Ingatlah olehmu, hai Umar, bagaimana Allah memberi tuntunan dan peringatan bagi kita dengan perantaraan Rasul-Nya; tidak ada satu pun rangkaian ancaman kepada kita, melainkan selalu diiringi dengan ayat-ayat yang mengandung janji mulia dan gembira, melainkan diiringi di belakangnya dengan janji ancaman bagi yang durhaka. Demikian itu ialah supaya kita selalu ada pengharapan kepada Tuhan di samping takut akan azab-Nya, dan selalu takut akan azab-Nya di samping kita menaruh harapan.”

 

5

       Demikianlah yang selalu kita temui dalam rentetan ayat Tuhan, sebagai yang kita dapati dalam Surat al- Ghasyiyah ini. Sesudah sejak ayat 1 sampai ayat 7 berisi gambaran kengerian hari kiamat, diulaslah dengan berita gembira untuk orang yang taat kepada Tuhan di masa hidup;

      

       Setelah menjelaskan tentang hak-hak yang akan diterima oleh kaum kuffar yang durhaka, selanjutnya Allah menjelaskan balasan yang akan diterima oleh kaum Mukhlisin-Mu’minin, yaitu kemurahan Allah yang akan membawa kesenangan kepada mereka melalui firman-Nya :

 

       Pada hari itu wajah-wajah tampak cerah berseri-seri, sebagaimana digambarkan oleh ayat lain yang berbunyi :

 

        “Kamu dapat mengetahui dari wajah-wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan”. (Al-Mutaffifin 83 :24)

 

       Wajah adalah  kata mufradnya, Wujuuh adalah kata jama’nya ; artinya ialah muka. Dan muka yang dimaksud disini ialah jiwa atau hati kita. Karena raut muka menunjukkan dan sebagai gambaran dari perasaan jiwa sendiri.

       

        Dan ekspresi wajah semacam ini tidak akan terjadi kecuali pada mereka yang merasa puas dan bahagia atas balasan yang mereka terima sebagai imbalan dari amaliah-nya tatkala hidup di dunia. Allah telah rela kepada mereka dan untuk itu ia berfirman pada ayat berikut ini :

 

 

       Sesungguhnya mereka mengupayakan amal perbuatan mereka untuk memperoleh keridaan Allah. Sebab mereka mengetahui bahwa buah dan akibat yang akan mereka petik dari amaliahnya sangat baik. Perihal mereka sama halnya dengan seseorang yang bekerja, kemudian memperoleh imbalan yang baik, sehingga tampaklah kebahagiaan di wajahnya demi melihat akibat perbuatannya yang terpuji.

 

       Dengan pertanyaan Tuhan demikian, nyatalah bahwa nikmat berganda yang dirasakan kelak di Akhirat itu adalah bekas usaha dan amal semasa di Dunia dulu.  

 

       Setelah menggambarkan orang-orang yang berhak menerima pahala-Nya, selanjutnya Allah menjelaskan rumah tinggal mereka yang disimpulkan dalam 7 sifat berikut ini :

 

       Tempat mereka amat tinggi dan lebih tinggi dari tempat-tempat yang lain. Sebab surga itu mempunyai tingkatan, di mana antara satu dengan yang lainnya mempunyai ketinggian yang berbeda. Sama halnya dengan neraka yang memiliki tingkat kerendahan yang berbeda hingga tingkatan yang paling rendah, yaitu dasar neraka.

 

       Ketinggian yang dimaksud dalam ayat ini bisa pula diartikan dalam masalah derajat. Sebab sebagian kenikmatan surga mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain. Jadi kenikmatan yang diperoleh para Sabiqin, yaitu para nabi, Syuhada dan Salihin tentunya lebih tinggi derajatnya daripada yang diperoleh para Muttabi’in (orang-orang yang mengikuti mereka).

       Surga adalah tempat yang bersih dari perkataan yang tiada guna (omong kosong). Sebab ia berada di sisi Allah dan para penghuninya adalah mereka yang dikasihani-Nya. Untuk memperoleh tempat ini (surga), mereka telah bekerja keras dan penuh kesungguhan tanpa beromong kosong dan bermalas-malasan.

 

       Tersunyi dan bersihnya suatu tempat daripada perkataan-perkataan sia-sia, hamun dan maki, gunjing dan gujirak, melampiaskan rasa dengki dan hasad, membicarakan keburukan orang lain dan memfitnah, adalah salah satu yang menyebabkan dunia ini jadi neraka bagi hidup kita. Kalau tiap hari yang kita dengar hanya kata-kata yang berujung pangkal, jiwa kita rasa tersiksa. Maka dalam syurga itu kelak kata-kata demikian tidak akan kita dengar lagi. Yang akan kita dengar hanyalah ucapan tasbih dan tahmid, sanjung dan puji kepada Tuhan. Bersihnya suasana syurga itu dari kata-kata sia-sia, itulah keistimewaan syurga, yang tidak akan didapat dalam dunia ini.

 

      Bandingkanlah itu dengan suasana dalam istana raja-raja yang indah permai, cukup lengkap inang pengasuh, beti-beti prawara, pembawa panji. Kelihatan di luar istana itu yang gemilang, namun suasana di dalamnya kerapkali sebagai neraka. Karena di sanalah berlaku segala macam iri-hati, fitnah memfitnah, mengambil muka dan rasa takut akan tersingkir dari kedudukan.              

   

       Demikian pula halnya orang-orang mulia di dunia tempat mereka bersih dari omong kosong, kebohongan dan kedustaan. Jika demikian apalagi tempat yang mempunyai kedudukan paling tinggi di sisi Allah Yang Merajai alam semesta danYang Menguasai hati semua makhluk.

 

 

 

        Di dalam surga terdapat air yang terus bersih sekali dan sedap dipandang mata. Fir’aun pernah menyombongkan diri dalam hal yang sama, seperti dijelaskan oleh ayat berikut ini :

 

       “… Bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku…” (Az-Zukhruf, 43 : 51).

 

       Mata air yang selalu mengalir, atau sungai-sungai yang selalu mengalir, dapatlah menjelaskan dalam ingatan kita betapa subur, betapa damai, betapa sejuk tempat di sana. Tempat yang tidak mengenal kepanasan musim panas (summer) dan kedinginan musim sejuk (winter) sebagai yang kita rasakan di dunia ini.

 

       Konon kabarnya, menurut uraian sejarah ahli-ahli arsitektur Arab di zaman jayanya di Andalusia atau di Isfahan, di Damaskus atau di Fez, di Arabis yang terkenal membuat air mancur di tengah lapangan rumah ialah ayat-ayat semacam ini dalam al-Quran. Sehingga betapa pun hebatnya musim panas, namun air memancur (fountain) di tengah pekarangan rumah itu membawa kesejukkan.      

 

       Tempatnya sungguh tinggi, dan jika seorang mu’min duduk di atasnya tampak olehnya segala kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, dan tampak pula olehnya para penghuni surga yang bergelimang dengan kenikmatan.

 

       Dalam ayat-ayat tadi tampak jelas penghormatan Allah kepada mereka :

 

       Di pinggir mata air jika mereka minum mereka mendapatkan gelas-gelas tersebut telah tersedia di dekatnya.

 

       Dan bantal-bantal yang tersusun rapi. Jika mereka menghendaki mereka bisa duduk diatasnya atau bersandar padanya.

8

       Atau jika mereka suka mereka bisa memakai sebagian bantal tersebut sebagai landasan duduk dan sebagian yang lain untuk bersandar. Pendek kata mereka bisa berbuat seenak dan sesuka hati mereka.

 

       Allah menghamparkan untuk mereka permadani pada setiap tempat duduk mereka . Di mana pun mereka duduk di situ terhampar permadani, sebagaimana hal ini tampak pada kalangan keluarga berada di seantero dunia.

 

       Melalui ayat-ayat tersebut Allah menggambarkan kemewahan para ahli surga dengan suatu gambaran yang bisa dipahami dan dicerna oleh akal. Sebab jika tidak demikian, niscaya kenikmatan surga tersebut tidak akan bisa dijangkau oleh akal manusia dan pula akan mendatangkan kesulitan dalam memahami bentuk dan rupanya. Secara keseluruhan kenikmatan surgawi yang telah diperinci oleh-Nya dengan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan dunia hanyalah dalam hal nama-namanya saja.

 

       Akan halnya hakikat dan jenis yang sebenarnya dari segala kenikmatan tersebut tidaklah sama atau mirip dengan yang ada di dunia. Tetapi bahkan jauh lebih tinggi nilainya, ssebagaimana diungkapkan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas yang mengatakan, “Apa yang ada di dunia jika dibandingkan dengan apa yang ada di akhirat hanyalah tinggal nama-namanya saja”.    

 

A.   PENGERTIAN TASAWUF

 

1.    Secara Lughawi / Bahasa

 

       Dalam mengajukan teori tentang pengertian tasawuf, baik secara etimologi maupun secara istilah pengertian tasawuf terdiri atas beberapa macam pengertian berikut : 

 

       Pertama, tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan “ahlu suffah” yang berarti sekelompok orang pada masa Rasulallah yang hidupnya diisi dengan banyak berdiam di serambi-serambi mesjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.

 

       Kedua, tasawuf itu berasal dari kata “shafa”. Kata “shafa” ini berbentuk fi’il mabni majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf ya’ nisbah, yang berarti nama bagi orang-orang yang “bersih” atau “suci”. Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya dihadapan Tuhan-Nya.

 

       Ketiga, istilah tasawuf  berasal dari kata “shaf”. Makna “shaf” ini dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu berada di shaf yang paling depan.

 

      Keempat, ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf dinisbahkan kepada orang-orang dari Bani Shufah.

 

       Kelima, tasawuf ada yang menisbahkannya dengan kata istilah bahasa Greek atau Yunani, yakni “saufi”. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata “hikmah”, yang berarti kebijaksanaan. Orang yg berpendapat seperti ini adalah Mirkas, kemudian diikuti oleh Jurji Zaidan, dalam kitabnya Adab Al-Lughah Al-‘Arabiyyah. Dia menyebutkan bahwa para filosof Yunani dahulu telah menjelaskan pemikiran atau kata-kata yang dituliskan dalam buku-buku filsafat yg mengandung kebijaksanaan. Ia mendasari pendapatnya dengan argumentasi bahwa istilah sufi atau tasawuf tidak ditemukan sebelum masa penerjemahan kitab-kitab yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Pendapat ini didukung juga oleh Nouldik yang mengatakan bahwa dalam penerjemahan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab terjadi proses asimilasi. Misalnya, orang Arab metransliterasikan huruf “sin” menjadi huruf “shad”, seperti dalam kata tasawuf menjadi tashawuf.

 

       Keenam, ada juga yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shaufanah”, yaitu sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu-bulu, yang banyak sekali tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dan pakaian kaum sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula dalam kesederhanaanya.      

 
       Ketujuh, ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shuf” yang berarti bulu domba atau wol.

 

       Tampaknya, dari ketujuh terma itu, yang banyak diakui kedekatannya dengan makna tasawuf yang dipahami sekarang adalah terma yang ketujuh, yakni terma “shuf”. Di antara mereka yang lebih cenderung mengakui terma yang ketujuh ini antara lain Al-Kalabadzi, Asy-Syukhrawardi, Al-Qusyairi, dll. Walaupun dalam kenyataannya, tidak setiap kaum sufi memakai pakaian wol.

 

       Begitu juga, dari terma-terma tersebut diatas, tampaknya yang lebih mendekati pada kata tasawuf  adalah terma yang ketujuh. Barmawi Umari, misalnya, mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada yang menggoyahkan pendapat bahwa tasawuf berasal dari wajan tafa’ul, yaitu tafa’‘ala-yatafa’alu-tafa’’ulan  dengan imbangannya, yaitu tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan.   

 

       Barmawi Umari lebih lanjut menegaskan bahwa tasawuf dapat berkonotasi makna dengan tashawwafa ar-rajulu. Artinya, “Seorang laki-laki telah men-tasawuf”. Maksudnya, laki-laki itu telah pindah dari kehidupan biasa kepada kehidupan sufi. Apa sebabnya ? Sebab, para sufi, bila telah memasuki lingkungan tasawuf, mereka mempunyai simbol-simbol pakaian dari bulu, tentunya bukan dari wol, tetapi hampir-hampir menyamai goni dalam kesederhanaannya. 

 

2.    Secara Istilah

 

       Pengertian tasawuf secara istilahi telah banyak diformulasikan pula ahli yang satu dengan yang lainnya berbeda, sesuai dengan seleranya masing-masing. 

 

  1. Menurut Al-Jurairi. Ketika ditanya tentang tasawuf, Al-Jurairi menjawab, tasawuf  yaitu “masuk ke dalam segala budi (akhlak) yang mulia dan keluar dari budi pekerti yang rendah”.
 

  1. Menurut Al-Junaidi. Ia memberikan rumusan tentang tasawuf sebagai berikut,
“Tasawuf  ialah kesadaran bahwa yang hak(Allah) adalah yang mematikanmu dan yang menghidupkanmu”.

 

c.  Menurut Al-Junaidi. Dalam ungkapan lain, Al-Junaidi mengatakan, “tasawuf adalah beserta Allah tanpa adanya penghubung’.

 

d.   Menurut Abu Hamzah. Ia memberikan ciri ahli tasawuf adalah sebagai berikut,

“tanda seorang sufi yang benar adalah memilih hidup fakir setelah (sebelumnya hidup) kaya, memilih menghinakan diri setelah (sebelumnya hidup) penuh penghormatan, memilih menyembunyikan diri setelah (sebelumnya hidup) terkenal. Adapun tanda seorang sufi palsu adalah memilih hidup kaya setelah (sebelumnya hidup) fakir, memilih kemuliaan dunia setelah (sebelumnya hidup) dalam kehinaan, dan memilih terkenal setelah (sebelumnya hidup) tidak dikenal”.  


e.       Menurut ‘Amir bin Usman Al-Makki. Ia pernah berkata, “Tasawuf adalah melakukan sesuatuyang terbaik di setiap saat”.

 

f.       Menurut Muhammad Ali al-Qassab. Ia memberikan ulasan, “Tasawuf adalah akhlak mulia yang timbul pada waktu mulia dari seorang yang mulia di tengah-tengah kaumnya yang mulia pula”.

 

g.      Menurut Syamnun. Ia menyatakan, “Tasawuf adalah mengambil hakikat dan tidak berharap terhadap apa yang ada di tangan makhluk”.

 

h.      Menurut Ma’ruf Al-Kurkhi. Ia mengungkapkan, “tasawuf adalah membersihkan hati dari apa saja yang mengganggu perasaan makluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua orang, memegang teguh janji dengan Allah daalm hal hakikat, dan mengikuti contoh rasulallah dalam hal syariat.

 

 

Berdasarkan pengertian-pengetian di atas, terutama pengertian yang diungkapkan Al-Junaidi, kita dapat meringkas pengertian tasawuf sebagai berikut :

“Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha-usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antar manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syariat Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridhaan-Nya”.    

 
B.  PENGERTIAN SUFI

 

       Secara harfiah terdapat beberapa penafsiran tentang arti istilah sufi. Di antara penafsiran itu antara lain menyebutkan bahwa kata sufi bermula dari kata safa (suci hati dan perbuatan), saff (barisan terdepan di hadapan Tuhan), suffah (menyamai sifat para sahabat yang menghuni serambi masjid nabawi di masa kenabian), saufanah (sejenis buah/buahan yang tumbuh di padang pasir), safwah (yang terpilih atau terbaik), dan bani sufah (kabilah badui yang tinggal dekat ka’bah di masa jahiliy

Asal kata sufi

Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata :

1.   Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan.


      Dan memang, kaum sufi   banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak  melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.

2.   Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid.


      Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur’an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.

3.  Ahlu al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah.


Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia.

4.   Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat.


Dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.

5.   Suf (kain wol).


Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan

 

Di antara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal  kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
 

C.  KARAKTERISTIK UMUM AJARAN TASAWUF

 

     Meskipun kata tasawuf sudah begitu terkenal, namun bersamaan dengan hal itu pengertian terhadap kata ini kabur dalam beragam makna yang adakalanya malah bertentangan. Hal ini terjadi karena agama, filsafat, dan kebudayaan dalam berbagai kurun-masa. Dalam kenyataannya setiap sufi ataupun mistikus selalu berusaha meng-ungkapkan pengalamannya dalam kerangka ideologi dan pemikiran yang berkembang di tengah masyarakatnya, ini berarti ungkapan-ungkapannya itu tidak dapat bebas dari kemunduran dan kemajuan kebudayaan jamannya sendiri.

 

      Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pengalaman para sufi ataupun mistikus itu adalah sama. Perbedaan di antara mereka hanyalah karena ketidaksamaan interprestasi atas pengalaman itu sendiri, karena pengaruh kebudayaan di masa sang sufi atau mistikus tersebut berafilisasi.

 

      Ada dua bentuk tasawuf atau mistisisme. Yang satu bercorak religius, yang lain bercorak filosofis. Tasawuf atau mistisisme religius adalah semacam gejala yang sama dalam semua agama, baik di dalam agama-agama langit ataupun agama-agama purba. Begitu juga dengan tasawuf atau mistisisme filosofis, sejak lama telah dikenal di timur sebagai warisan filsafat orang-orang yunani, maupun di Eropa abad pertengahan ataupun modern. Dalam kalangan filosof Eropa modern yang mempunyai kecenderungan mistis ialah Bradley di Inggris, dan Bergson di Prancis.

 

      Tasawuf atau mistisisme religius adakalanya perpadu dengan filsafat. Hal ini dapat kita lihat pada beberapa sufi Muslim atau banyak mistikus Kristen. Karena itu pada diri seorang filosof, terjadinya perpaduan antara kecenderungan intelektual dan kecenderungan mistis terlah merupakan sesuatu yang tidak asing. Bertrand Russell dalam bukunya mysticism and logic, mengatakan bahwa di antara para filosof pun ada yang mampu memadukan kecenderungan mistis dan kecenderungan intelektual ini. Menurutnya pemaduan atau pengkompromian kedua kecenderungan itu merupakan pendakian akal, sehingga orang yang mampu melakukanya pun dipandang sebagai seorang filosof dalam pengertian sebenar-benarnya. “para tokoh besar yang filosof sangat memerlukan baik itu ilmu pengetahuan maupun mistisisme”, sebab “intuisi mistis adalah semacam pemberi ilham bagi berbagai problema besar yang terdapat pada setiap manusia”, yang untuk ini ia menyebut Heraclitus, Plato, dan Parmenides sebagai contohnya.

 

      Sebagian peneliti telah berusaha mandefinisikan karakteristik umum yang sama di antara berbagai kecenderungan tasawuf atau mistisisme. William James, misalnya, seorang ahli ilmu jiwa Amerika, mengatakan bahwa kondisi-kondisi mistisisme selalu ditandai oleh empat karakteristik sebagai berikut :

 

1.      Ia merupakan suatu kondisi pemahaman (noetic). Sebab, bagi para penempuhnya ia merupakan kondisi pengetahuan serta dalam kondisi tersebut tersingkaplah hakekat realitas yang baginya merupakan ilham, dan bukan merupakan pengetahuan demonstratif.

  1. Ia merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan. Sebab ia semacam kondisi perasaan (states of feeling), yang sulit diterangkan pada orang lain dalam detail kata-kata seteliti apa pun.
 

  1. Ia merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, dia tidak berlangsung lama tinggal pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan sangat kuat dalam ingatan.
 

  1. Ia merupakan suatu kondisi pasif (passivity).Dengan kata lain, seorang tidak mungkin menumbuhkan kondisi tersebut dengan kehendak sendiri. Sebab, dalam pengalaman mistisnya, justru dia tampak seolah-olah tunduk di bawah suatu kekuatan supernatural yang begitu menguasainya.
 

      Sedangkan menurut R.M.Bucke, terdapat tujuh karakteristik di dalam kondisi mistisisme, yaitu ;

1.      Pancaran diri subyektif (subyective light).

2.      Peningkatan moral (moral elevation).

3.      Kecerlangan intelektual (intelektual illumination).

4.      Perasaan hidup kekal (sence of immotality).

5.      Hilangnya perasaan takut mati (loss of fear of death).

6.      Hilangnya perasaan dosa (loss of sense of sin).

7.      Ketiba-tibaan (suddynness).

 

      Karakteristik umum tasawuf atau mistisisme, sebagaimana yang dikemukakan James dan Bucke, dapat dikatakan terdapat pada sebagian besar aliran tasawuf atau mistisisme. Namun, karakteristik yang dikemukakan di atas itu belum lagi lengkap, sebab masih banyak ciri-ciri lainya yang tidak kalah penting yang tidak tercakup disana. Misalnya perasaan tentram, keiklasan jiwa atau penuh penerimaan, perasaan fana penuh dalam realitas mutlak, perasaan pencapaian yang mengatasi dimensi ruang dan waktu, dan lain-lain.

 

      Sementara itu Bertrand Russell, setelah menganalisa kondisi-kondisi tasawuf atau mistisme, telah berusaha ubtuk membatasi ciri-ciri flosofis tasawuf atau mistisisme kedalam empat karakteristik yang menurutnya akan membedakan tasawuf atau mistisisme dari filsafat-filafat lainya, pada semua kurun-masa dan di seluruh penjuru dunia. Empat karakteristik itu ialah sebagai berikut ;

     

1.      Keyakinan atas intuisi (intuition) dan pemahaman batin (insight)sebagai metode pengetahuan, sebagai kebalikan dari pengetahuan rasional analitis.

2.      Keyakinan atas ketunggalan (wujud), serta pengingkaran atas kontradiksi dan diferensiasi, bagaimana pun bentuknya.

3.      Pengingkaran atas realitas zaman.

4.      Keyakinan atas kejahatan sebagai sesuatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja, yang dikenakan kontradiksi dan diferensiasi, yang dikendalikan rasio analitis.

 

Perlu diperhatikan, bahwa karakteristik pertama yang dikemukakan Russell, yaitu keyakinan atas intuisi atau pemahaman intuitif langsung, adalah metode pengetahuan yang benar, yang dapat ditemukan pada para sufi ataupun mistikus dari semua aliran dan kurun-masa. Sementara karakteristik lainnya hanya dapat dikenakan pada para sufi ataupun mistikus yang menganut aliran panteisme saja.

 

Menurut pendapat penulis, tasawuf atau mistisisme pada umumnya memiliki lima ciri yang bersifat piskis, moral, epistemologis, yang menurut kami sesuai dengan semua bentuk tasawuf atau mistisisme, kelima ciri tersebut ialah:

 

1.      Peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme memiliki moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk perealisasian nilai-nilai itu. Dengan sendirinya, hal ini memerlukan latihan-latihan  fisik-fisikis tersendiri, serta pengkekangan diri dari matrealisme duniawi, dan lain-lain.

 

2.      Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Inilah ciri khas tasawuf atau mistisisme dalam pengertiannya yang sunguh terkaji. Yang dimaksud fana ialah, bahwa dengan latihan fisik serta piskis yang di tempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi piskis tertentu, dimana dia tak lagi merasakan adanya diri atau keakuannya. Bahkan dia merasa kekal-abadi dalam Realitas Yang Tertinggi.lebih jauh lagi., dia talah meleburkan kehendaknya bagi Kehandak Yang Mutlak. dari sebab inilah sebagai sufi ataupun mistikus berkeyakinan tantang dapat terjadinya persatuan dengan Realitas Yang Tertinggi itu, atau Yang Mutlak tersebut berada dalam  diri mereka. Dengan kata lain, wujud hanya satu, dan bukannya sama-sekali berbilang banyak . namun sebagi sufi  atau mistikus lainya tidak manyatakan pendapat begitu, yakni tentang  penyatuan, hulul, atau ketunggalan wujud. Sebaliknya, sekembali dari kesirnaan (fana), mereka justru mengokohkan adanya dualitas atau pluralitas wujud.

 

3.      Pengetahuan intuitip langsung. Ini adalah  norma terkaji epistemologis, yang membedakan tasawuf atau mistisisme dari pada filsafat. Apabila dengan filsafat, yang dalam memahami realitas seseorang mempergunakan metode-metode intekektual, maka dia disebut seorang filosof. Sementara, kalau dia berkeyakinan atas terdapatnya metode yang lain bagi pemahaman hakekat realitas di sebalik persepsi indrawi dan penawaran intelektual, yang disebut dengan rasyf atau intuisi atau sebutan-sebutan serupa lainnya, maka dalam kondisi begini dia disebut sebagai sufi ataupun mistikus dalam pengertiannya yang lengkap. Intuisi, menurut para sufi ataupun mistikus, bagaikan sinar kilat yang muncul dan perginya selalu tiba- tiba.


4.      Ketentraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf atau mistisisme. Sebab, tasawuf atau mistisisme diniatkan sebagai penunjuk atau pengendali berbagai dorongan hawa-nafsu, serta pembangkit keseimbangan psikis pada diri seorang sufi ataupun mistikus tersebut terbebas dari semua rasa takut dan merasa intens dan ketentraman jiwa, serta kebahagiaan dirinyapun terwujudkan. Selain itu sebagai sufi ataupun mistikus telah menyatakan, bahwa pemenuhan fana dalam Yang Mutlak dan pengetahuan mengenai-nya justru membangkitkan suatu kebahagiaan pada diri seorang manusia, yang mustahil dapat diuraikan dengan kata-kata.

 

5.      Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan. Yang dimaksud dengan penggunaan simbol ialah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan para sufi ataupun mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harafiah kata-kata. Kedua, pengertian yang ditimba dari analisa serta pendalaman. Pengertian yang kedua ini hampir sempurna tertutup bagi yang bukan sufi ataupun mistikus; dan sulit baginya untuk dapat memahami ucapan sufi ataupun mistikus, apalagi untuk dapat memahami maksud tujuan mereka. Sebab, tasawuf atau mistisisme adalah kondisi-kondisi efektif yang khusus, yang mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dan ia pun bukan merupakan kondisi yang sama pada semua orang. Setiap sufi ataupun mistikus punya cara sendiri dalam mengungkapkan kondisi-kondisi yang dialaminya. Dengan demikian, tasawuf atau mustisisme dekat dengan seni. Khusus para penempuhnya, dalam menguraikan kondisi yang mereka alami, mempergunakan intropeksi sebagai landasan. Jelas, hikmah kehidupan yang seperti begini sulit untuk dipahami orang-orang lain. Dari inilah mengapa tasawuf atau mistisisme diberi atribut dengan simbolisme.

 

Namun perlu dijelaskan, bahwa kelima karakteristik itu hanya dapat dikenakan pada tasawuf atau mistisme dalam bentuknya yang matang dan sempurna. Sebab tasawuf atau mistisisme, dalam setiap budaya, niscaya menempuh berbagai frase perkembangan, sehingga mengakibatkan adakalanya hanya sebagian saja dari kelima karakteristik itu yang bersesuaian dengan beberapa frase, sementara sebagian lainya tidak. Hal ini misalnya sebagian telah terjadi pada tasawuf Islam dalam frase-frasenya yang dini, seperti yang akan diuraikan nanti.

 

Dari uraian kelima karakteristik tadi, yang menjadi corak semua bentuk tasawuf atau mistisme, kini mungkin dapat di rumuskan suatu definisi tasawuf atau mistisisme yang lebih tuntas ketimbang definisi-definisi yang telah dikemukakan sebelumnya :

 

“Tasawuf atau mistisisme adalah falsafah hidup, yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia, secara moral, lewat latihan-latihan praktis yang tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan fana dalam Realitas Yang Tertinggi serta pengetahuan tentang-nya secara intuitif, tidak secara rasional, yang buahnya ialah kebahagiaan rohaniah, yang hakekat realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata, sebab karakternya bercorak intuitif, dan subyektif.”    


D. KESIMPULAN

 

       Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak yang mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoteric dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fikih, khususnya pada bab thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik.        

 

       Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkannya secara benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada saat ia berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan berbagai aktivitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan, dsb. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan,dsb.

 

       Demikian pentingnya peranan tasawuf dalam kelangsungan hidup manusia seutuhnya, maka tidak mengherankan apabila tasawuf demikian akrab dengan kehidupan masyarakat islam, setelah masyarakat tersebut membina akidah dan ibadahnya, melalui ilmu tauhid dan ilmu fiqih. Dengan demikian terjadilah hubungan tiga serangkai yang amat harmonis yaitu akidah, syari’ah, dan akhlak. Berkenaan dengan ini telah bermunculan para peneliti yang mengosentrasikan kajiannya pada masalah tasawuf yang hasilnya telah disajikan dalam berbagai literatur baik yang berbahasa Arab, Inggris, maupun lain sebagainya. Keadaan ini selanjutnya mendorong timbulnya kajian dan penelitian di bidang tasawuf.   

 
I.        Biografi Imam Bukhary
   Nama lengkap Imam Bukhary ialah Abu’ Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah al-Ja’fi ibn bardizbah al- Bukhari. Beliau dilahirkan  di Bukhara pada malam hari raya Ramadhan, tepatnya  pada 13 Syawal 194 H (810 M) dan wafat juga  pada 30 Ramadhan 256 H (872 M) menjelang hari raya H.
       Beliau dikenal dengan nama Imam Bukhari karena disandarkan kepada nama tempat kelahirannya, Ayahnya dikenal sebagai ulama yang shalih namun beliau meninggal ketika Bukhari masih kecil. Sementara kakeknya yg mula-mula masuk Islam ialah al-Mughirah yang diIslamkan oleh Gubernur Bukhara yang bernama al-Yaman al-Ja’fi, karenanya beliau dinamakan al-Ja’fi.
       Sejak kecil telah menjadi Yatim bukan berarti kehidupannya lepas kontrol serta jauh dari pendidikan agama Islam malahan beliau telah berhasil menghafal al-Qur’an pada usia masih kecil. Selain mendapat pendidikan dari sang Ibu beliau mendapat pelajaran pertama dari seorang Ulama Fiqih.
       Pada usia 10 tahun Bukhari mulai menghafal hadits, dan pada umur 16 tahun beliau menghafal kitab-kitab karya Ibnul Mubarak dan Wakie’ serta Ia melawat untuk menemui ulama-ulama hadits di berbagai penjuru kota dan negeri. Lawatan beliau meliputi Maru, Naisabury, Ray, Baghdad, Basrah, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Damaskus, Asqalan, dll.
       Guru-gurunya berjumlah lebih dari 1000 orang. Beliau menyebutkannya dalam kitab al-Jami al-Shahih atau yg lebih dikenal dengan shahih al-Bukhari yg disusun hasil dari menemui 1080 orang guru dalam bidang Hadits.
     Ibnu Hajar al- Asqalani mengatakan bahwa guru-guru tersebut dapat dikategorikan kepada lima tingkatan, mulai dari tabi’in sampai kepada para mahasiswa yang sama-sama belajar dengan Bukhari sendiri. Setiap gurunya tersebut ia beri penilaian secara jujur tanpa ada pilih kasih. Hal ini dilakukannya, untuk menentukan hadits apakah maqbul atau mardud.
   
       Di antara guru-gurunya tersebut adalah Makki ibn Ibrahim al-balakhi, ‘Abdan ibn ‘Utsman al-Mawarzi,’Abdullah ibn Musa al-Qaisi, Abu’Alim al- Syaibani, Muhammad ibn ‘Abdullah al-Ashari, Muhammad ibn Yusuf al- Faryabi, Abu aim al-Fadl ibn Dikkien, ‘Ali ibn Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Ismail ibn Idris al-Madini, Ibn Rahawah dan lain sebagainya. 

2.  Biografi Imam Muslim 
       Imam Muslim, nama lengkapnya adalah Abu Husain Muslim ibn al-Hijjaj ibn Muslim al-Qusyairi al- Naisaburi. Beliau dinisbatkan kepada Nisabury karena beliau adalah putra kelahiran Nisabur, tahun 204 H (820 M) yakni, kota kecil di Iran bagian Timur Laut. Beliau juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya Qusyair bin  Ka’ab bin Rabi’ah bin Sha-sha;ah suatu keluarga bangsawan besar.
       Imam Muslim adalah orang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan dan memiliki kegigihan dalam mencarinya, terutama dalam bidang hadits. Semenjak kecil, ketika umurnya menginjak empat belas tahun, ia mulai mengkhususkan diri menari dan mendengar hadits-hadits dari guru-gurunya yang ada di Naisabur. Karena ketertarikannya kepada hadits, kemudian beliau mulai melaksanakan rikhlahilmiah ke luar negeri, di antaranya ke Hijaz, Irak, Suriah, dan Mesir.
       Dalam perjanannya ini telah bertemu dengan guru-guru terkemuka dan penghafal-penghafal hadits. Sebagaimana Imam Bukhari pada dasarnya guru-guru Imam Muslim sama dengannya, hanya saja Muslim pernah berguru kepada bukhari, terutama ketika Imam Bukhari berkunjung ke Naisabur.
       Di antara guru-gurunya yang lain beliau pernah meriwayatkan hadits mereka, adalah : Yahya ibn Yahya al-Naisaburi, Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn rawahih, ‘abdullah ibn maslamah, al-Qa’nabi, al-Bukhari dsb .
       Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama-ulama Baghdad yang sering beliau datangi, di antaranya At-turmudzy, Yahya ibn Sa’id, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahab al-Farra, Ahmad ibn Salamah, Abu Awamah,Ya’kub, Ibn Ishaq al-Isfarayini, Nair ibn Ahma, dan sebagainya.
       Di samping kedalaman ilmunya dalam bidang hadits, ia juga sangat terkenal dengan kewaraannya, zuhud, tawadhu, dan selalu ikhlas dalam berkiprah.
       Kesemuanya ini telah menempanya sehingga ia selalu muncul menjadi seorang ulama besar dan pakar ilmu hadits. Tidak kurang dari 20 buku telah beliau susun. Dan di antara karangannya yang paling monumental dan kita dapat membacanya sekarang al-jami al-Shahih Muslim, atau sering dikenal dengan Shahih Muslim.
      Shahih Muslim ini kitab yang kedua dari kitab-kitab hadits yang menjadi pegangan. Sesudah shahih Bukhary, Shahih Muslimlah yang dijadikan pedoman.

       Shahih Muslim lebih baik susunannya, daripada shahih Al-Bukhary; karena itu lebih mudah kita mencari hadits di dalamnya, daripada mencari di dalam Shahih Al- Bukhary.
       Muslim menempatkan hadits-hadits wudlu’ umpamanya seluruhnya di bagian wudlu’ tidak tersebar di sana-sini seperti halnya Shahih Al Bukhary.
       Diriwayatkan dari Muslim bahwa isi shahihnya sejumlah 7275 buah hadits dengan berulang-ulang.

 

       Kitab-kitab syarahnya, banyak juga. Ada sejumlah 15 buah. Yang amat terkenal ialah :

       1)  Al-mu’lim bi Fawa-idi Muslim,karangan AlMazary(536 H).

       2) Al Ikmal, karangan Al Qadli ‘Iyadl (544 H).    

       3) Minhajul Muhadditsin, karangan An Nawawy (676 H).

       4) Ikmalul ikmal, karangan AzZawawy (744 H).

       5) Ikmalul Ikmali Mu’lim, karangan Abu Abdillah Muhammad Al abiyy

           Al Maliky (927 H).

       Sebagian dari Mukhtasarnya, ialah Mukhtasar Al Mundziry

       Di antara yang mengikhtisarkannya pula, ialah Al Qurtuby (656 H), yang di syarahkan kembali olehnya dalam kitabnya al-Mufhim.
       Zawidnya telah dikumpul dan disyarahkan oleh Ibnul Mulaqqim (804 H).

 

       Menurut pendapat Muhammad Ajaj al-Khatib, (guru besar hadits di Universitas Damsyik), bahwa hadits yan tercantum dalam kitab Shahih Muslim berjumlah 3.030 buah hadits dengan tanpa pengulangan, dan bila dijumlahkan dengan hadits yang mengalami pengulangan, akan menjadi 10.000 hadits. Sementara menurut al-Khuli, ulama ahli hadits Mesir, hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim berjumlah 4.000 hadits yang diulang adalah 7.275 hadits.

       Menurut Imam Muslim sendiri, hadits-hadits tersebut meliputi hadits-hadits yang shahih yang beliau kumpulkan dan disaringnya dari 300.000 buah hadits. Dan untuk memilih hadits sejumlah itu ia telah menghabiskaan waktu selama 15 tahun.

 

Menurut para ulama kitab shahih muslim ini menempati peringkat kedua setelah Shahih al-Bukhari. Kitab Shahih muslim memiliki keistimewaan tersendiri, di antaranya :

 

1) Metode penyusunannya menggunakan prinsip Jarh dan Ta’dil, dengan menggunakan bentuk; Tahammul (periwayatan), seperti              : Hadatsani, Hadatsana, Akhbarani, Qala, dll.

2) Muslim lebih teliti dalam hal periwayatan hadits, sebab pada waktu menerima hadits ia mencatatnya dan menyampaikannya dengan cara bi al-lafzh.

3) Dalam susunannya,Shahih Muslim lebih sistematis sehingga hadits- haditsnya mudah untuk ditelusuri.

4) Shahih Muslim tidak memasukan fatwa sahabat atau tabi’in dalam memperjelas hadits yang diriwayatkannya.

 

       Di samping kelebihan yang dimilikinya juga tidak lepas dari kelemahannya :

1)   Di dalam nya ada hadits Mu’allaq kendati sedikit,

2)  Terdapat hadits mursal dan Munqathi’,

3)  Adanya periwayatan hadits dari perawi-perawi yang dianggap lemah.

       Terlepas dari adanya kelemahan-kelemahan tersebut di atas, yang jelas kitab shahih muslim telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan hadits. Sebab kitab ini dalam dunia islam secara sepakat dijadikan sebagai sumber ketiga dasar hukum islam setelah Al-Qur’an, Shahih Bukhari dan selanjutnya Shahih Muslim.

 

Para Ulama sepakat menyatakan, Kitab muslim adalah kitab kedua setelah kitab al- Bukhari dan tidak  seorang pun yang menyamai al-Bukhari dalam bidang mengkritik hadits,sanad-sanad hadits, dan perawi-perawinya selain Muslim.

 

       Abu’Ali al-Naisaburi Muhammad ibn ya’kub, bahwa ketika al- Bukhari diam di naisabur, sering kali Muslim berkunjung kepadanya, tetapi setelah terjadi perselisihan paham antara Muhammad ibn Yahya dalam masalah lafadz al-Qur’an, Muhammad ibn Yahya mencegah orang-orang mengunjungi al-Bukhari.     

 

 

3.  Latar belakang penyusunan kitab.       

    

a.  Seiring dengan bertambah luasnya pemalsuan hadits pada abad kedua yang disebabkan oleh pertarungan politik yang bertujuan untuk menumbangkan rezim Amawiyah, untuk mudah mempengaruhi massa dibuatlah hadits-hadits palsu sehingga menarik minat dan perhatian rakyat kepada pemerintah Abassiyah.

 

     Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Amawiyah ahli-ahli pemalsu hadits untuk membendung arus propaganda penganut-penganut faham Abassiyah.

 

     Di samping itu muncul pula golongan zindiq (pura-pura islam), tukang kisah yang berdaya upaya menarik minat pendengar untuk memperhatikan pengajaran-pengajarannya dengan membuat kisah-kisah palsu yang disandarkan kepada hadits-hadits maudlu’ (palsu).

 

b.    Banyaknya para penghapal hadits yang meninggal dunia akibat peperangan terutama pada akhir abad 1 H.
c. Periwayatan secara lisan dengan peperangan pada hapalan dan ingatan dalam keseragaman lafadz dan makna tidak bisa berlangsung lama disebabkan kondisi kaum muslimin sendiri dalam menghapal riwayat dan memelihara hapalan dikarenakan faktor keimanan dan berubahnya kondisi masyarakat di bidang sosial ekonomi dan politik.

 

d.    Pada masa tabi’in tidak dikhawatirkan lagi tercampurnya antara Al-Qur’an dan Hadits, sehingga tidak menimbulkan kesamaran tentang Al-Qur’an sebagai dasar tasyri’ yang pertama telah dibukukan, maka Hadits pun yang berfungsi sebagai interpretasi al-Qur’an, secara otomatis harus dibukukan pula. 

  

e. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju karena semakin luasnya scope pengenalan umat dan pertemuan peradaban antara orang islam dengan anak-anak negeri yang kemudian menjadi wilayah islam, begitu pula pengaruh literature yang dating dari luar, maka merangsang dan mendorong kea rah pentadwinan/ pembukuan Hadits, sebab Hadits adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan.

 

f. Pada umat islam sudah tersedia potensi atau sarana untuk keperluan penulisan, pengumpulan dan pembukuan Hadits yakni kepandaian tulis baca yang semakin meluas di kalangan bangsa Arab, dan semakin bersemangat memelihara dan membina Sunnah Nabi, baik dalam mencari, memahami, menghafal, mengamalkan, dan menyebarkan. Dengan demikian untuk aktivitas pentadwinan Hadits, umat islam siap lahir batinnya.


3. Karakter dan kedudukan kitab.    

 

   Shahih Al-Bukhary, adalah kitab yang mula-mula membukukan hadits-hadits shahih. Kebanyakan ulama hadits telah sepakat menetapkan bahwa Shahih Al-Bukhary itu adalah seshahih-shahih kitab sesudah Al-Qur’an.

    

     Tegasnya, dialah pokok pertama dari kitab-kitab pokok hadits. Al-Bukhary menyelesaikan Shahihnya dalam waktu 16 tahun. Ditiap-tiap beliau hendak menulis sebuah hadits, beliau mandi dan istikharah.

     Beliau menamainya dengan “Al-Jami’u ‘sh-Shahih Al Musnadu min haditsi rasul s.a.w.”      

      

      Isinya berjumlah 9082 buah hadits marfu’ dan sejumlah hadits mauquf dan maqthu’. Ibnu Shalah menetapkan bahwa bilangan hadits Al-Bukhary ada 7275 buah hadits dengan berulang-ulang. Kalau tidak berulang-ulang ada 4000 buah hadits. Hitungan Ibnu Shalah ini diikuti oleh An Nawawy.

 

      Kata Al-Hafidh : “Mereka menetapkan demikian karena mentaqlidi Al Hamawy. Sesudah saya hitung baik-baik dengan cermat terdapatlah bahwa jumlah hadits Al-Bukhary beserta dengan yang berulang-ulang, selain dari hadits mu’allaq dan mu’tabi ada 7397 buah hadits dan yang tidak berulang-ulang ada 2602 buah. Jumlah yang mu’allaq ada 1341 buah. Jumlah yang mutabi’ ada344 buah. Jumlah seluruhnya ada 9082 hadits.

 

        Kedalam hitungan ini tidak masuk hadits-hadits mauquf dan hadits-hadits maqthu’.

 

       Al-Bukhary membagi kitabnya kepada 97 kitab, 3451 bab. Jumhur ulama hadits menyambut hadits-hadits Shahih Al-Bukhary tanpa memeriksanya kembali. Ad-Daraquthny telah menyisihkan 110 buah hadits. 30 buah diantaranya disetujui oleh Muslim. 78 buah hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhary sendiri. Penyaringan ini telah dibantah oleh Ibnu Hajar dalam Muqaddamah Fathu ‘I-Bari. Sebagian bantahannya itu dapat diterima secara ilmiah.

 

       Sesungguhnya, tak ada sebuah kitab pun yang mendapat perhatian besar sebesar perhatian yang diperoleh oleh Shahih Al-Bukhary. Lantaran itu, didapatlah syarahnya sebanyak 82 buah. Syarah-syarah itu ada yang panjang, ada yang ringkas, ada yang sedang-sedang.

      

       Di antaranya, ialah “A’lamu’s-Sunan, susunan Al Khaththaby (388 H). Al Kawakibu ‘d- Darari, susunan Muhammad ibn Yusuf Al Kirmany (775 H). Syarah yang banyak tersebar dalam masyarakat, Irsyadu’s-Sari, karangan Ahmad ibn Muhammad Al Mishry Al Qashtalany ( 851 H-923 H). Di antara semuanya itu, hanya empat buah saja yang terpandang tinggi dari segala jurusan :

1.     At-Tanqih, karangan Badruddin Az Zarkasyy.

2.    At-Tawsyih, karangan Jalaluddin As Sayuthy.

3.    ‘Umdatul Qari, karangan Badruddin Al ‘ainy.

4.    Fathul Bari, karangan Syihabuddin Al’Asqalany.

 

       Fathul Bari lah, yang merupakan kitab yang terbaik di antara keempat kitab di atas, sehingga digelarkan “Raja syarah Bukhary”.

      

       Ibnu Hajar memulai penyusunan syarah tersebut pada tahun 817 H. Sesudah menyelesaikan muqaddimahnya pada tahun 813 H. Sesudah siap beliau susun, beliau adakan “peralatan besar” yang menelan biaya 500 dinar. Kemudian syarah itu diminta beli oleh seorang Amir seharga 150 pound.

 

       Di samping dibuat syarah-ayarah terhadap buku Shahih Bukhary, dibuat pula mukhtasarnya (ringkasannya). Mukhtasar yang terbaik, adalah “At-Tajridu ‘sh-Shahih,” susunan Al-Husain ibn Al-Mubarak (631 H).

 

       Sebagian sarjana menetapkan, bahwa At-Tarjudi ‘sh Sahih ini, susunan Abul Abbas Syarafuddin Ahmad Asy Syarajy Az Zabidy, yang diselesaikannya dalam tahun 889 H Dalam tahun 893 H. beliau berpulang.

 

       Sebagian ulama menguatkan pendapat ini dengan alasan bahwa Al-Husain Ibnul Mubarak Az Zabidy wafat dalam tahun 631 H. Sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Qasthalany dalam Al-Irsyad. Bukunya diselesaikan dalam tahun 889 H. Kitab mukhtasar ini telah disyarahkan oleh Al’Allamah Hassan Khan dan oleh Abdullah Asy Syarqawy.  

 

4.  Pandangan Problematik tentang Hadits.

 

       Pada Abad II Hijriyah, muncul faham yang menyimpang dari garis khittah yg telah dilalui oleh para shahabat dan tabi’in, yaitu ada yg tidak mau menerima Hadits sebagai Hujjah dalam menetapkan hukum atau bila tidak dibantu oleh al-Qur’an, dan ada pula yang menolak Hadits Ahad. Dalam pada itu terdapat pula perbedaaan faham dalam hal keadilan shahabat, hukum menulis hadits, keberadaan pemalsuan hadits, dll.


       Problematika tsb dibahas secara seksama oleh para ulama dengan menggunakan dalil yg jelas dari al-Qur’an dan Hadits, Logika yg kuat, serta fakta-fakta historis yg kuat sejak zaman Nabi s.a.w.

 

       Tentang pemalsuan Hadits, memang merupakan suatu kenyataan, namun telah dianalisis siapa sebenarnya pelakunya, dan telah diadakan penangulangan oleh para ulama dan dan kaum muslimin pada umumnya. Adapun ikhtilaf tentang penerima hadits dan Hadits Ahad sebagai dasar Tasyr’I dapat diuraikan sebagai berikut :

1.     Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits Ahad merupakan hujjah yang dapat dijadikan landasan amal walaupun bersifat zhan.

2.    Ahmad, al-Mahasibi, al-Karabisi, Abu Sulaiman  dan Malik berpendapat bahwa Hadits Ahad qath’i dan wajib diamalkan.

3.    Kaum Rafidhah , al-Qasimi, Ibnu Dawud, dan sebagian kaum Mu’tazilah mengingkari Hadits Ahad sebagai hujjah.

 

Alasan penolakan hadits Ahad sebagai hujjah adalah sebagai berikut :

1.     hadits Ahad itu bersifat zhan bisa mengandung kesalahan, maka tidak dapat digunakan sebagai hujjah.

2.    Karena telah sepakat bahwa Hadits Ahad tidak dapat dijadikan landasan di bidang Ushul dan Aqidah, maka tentunya begitu pula untuk bidang furu’.

3.    Sikap Nabi s.a.w. yang tidak segera merespon terhadap informasi Dzu  al-Yaddin bahwa Nabi menyudahi shalat ‘Isya dua raka’at. Baru setelah Abu bakar dan ‘Umar menbenarkan ucapan Dzu al-Yaddin, Nabi s.a.w. menyempurnakan shalat dan melakukan sujud sahwi.

 

4.    Sahabat menolak pemberitaan seseorang, seperti Abu baker menolak informasi Mughirah tentang warisan nenek dari cucu, ‘umar menolak riwayat Abu Musa tentang isti’dzan dan ‘Aisyah menolak khabar ibn ‘Umar tentang disiksanya mayat karena tangisan keluarganya.

 

Jawaban dan penjelasan dari ulama yang menerima Hadits Ahad sebagai hujjah sebagai berikut :

 

1.     Hadits Ahad walaupun bersifat zhan, telah disepakati sebagai hujjah untuk masalah furu’ dan menjadi pegangan semenjak masa nabi s.a.w. dan sahabat, maka dengan ijma’nya bersifat qath’i.

2.    Qias soal ushul dan furu’ kurang tepat. Zhan untuk masalah furu’ bias diterima mengingat kasus fatwa dan kesaksian.

3.    Nabi s.a.w. menangguhkan penyempurnaan shalat ‘isya karena ragu, setelah Abu Bakar dan ‘Umar memberitahu, bary Nabi s.a.w. berbuat. Hal ini tidak berarti menggugurkan informasi Dzu al-Yaddin.

 

       Kenyataan sejarah menunjukan, bahwa para sahabat dan tabi’in menerima Hadits Ahad dan mengamalkannya dan banyak hukum disandarkan kepada Hadits-hadits ahad.

 

              Kritik tentang Hadits dilakukan oleh sarjana barat, adapun kritik2 tersebut adalah :

 

1. Beberapa orientalis berpendapat bahwa sebagian besar hadits adalah buatan orang Islam, bukan merupakan sabda Nabi saw. Menurut mereka hadits lahir karena perkembangan politik dan kondisi sosial. 

2. Karena dalam hadits banyak lafadz yg berbeda-beda. Dengan berdalil pada ayat-ayat Al-Qur’an :


“Tidak kami sisakan sedikit pun dari sesuatu di dalam kitab(al-Qur’an)”

            (Q.S. al- An’am : 38)

 

       “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan ad-dzikr (al-Qur’an) dan  Kami  

         pula yang jadi penjaganya” (Q.S. Al-Hijr : 9).

 

                                                                                             

3. Hadits terkait erat dengan kepentingan partai dan golongan yg ada dalam umat Islam, dll.

 

       Adapun jawaban terhadap tudingan orientalis tersebut adalah :

1.     Sejak permulaan Hadits adalah dasar penentuan syari’at Islam, yg telah jadi pedoman dan mendarah daging dlm tubuh umat Islam dan banyak diamalkan.

2.    Bahwa perbedaaan Lafadz Hadits terjadi sebab terkait dengan derajat dan nilai suatu hadits atau difahami sebagai diwan hadits.

3.    Betul dalam tubuh umat Islam terjadi konflik politik, tapi yang membuat hadits bukanlah kalangan ulama Hadits.
 

A. Letak geografis jazirah arab  .

 

       Menurut bahasa, Arab artinya padang pasir, tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Jazirah arab dibatasi laut merah dan gurun Sinai di sebelah barat, di sebelah timur dibatasi teluk arab dan sebagian besar negara iraq bagian selatan, di sebelah selatan dibatasi laut arab yang bersambung dengan lautan India, di sebelah utara dibatasi negeri syam dan sebagian kecil dari Negara iraq. Luasnya membentang antara satu juta mil kali satu juta tiga ratus ribu mil.

 

       Jazirah arab memiliki peranan yang sangat besar karena letak geografisnya. Sedangkan dilihat dari kon disi internalnya, jazirah Arab hanya dikelilingi gurun dan pasir di segala sudutnya. Karena kondisi seperti inilah yang membuat jazirah arab seperti benteng pertahanan yang kokoh, yang tidak memperkenankan bangsa asing  untuk menjajah, mencaplok dan menguasai bangsa arab. Oleh karena itu kita bisa melihat penduduk jazirah arab yang hidup merdeka dan bebas dalam segala urisan semenjak zaman dahulu. Sekalipun begitu mereka tetap hidup berdampingan dengan dua imperium yang besar saat itu, yang serangannya tak mungkin bisa dihadang andaikan tidak ada benteng pertahanan yang kokoh saat itu.

 

       Sedangkan hubungannya dengan dunia luar, jazirah arab terletak di benua yang sudah dikenal semenjak dahulu kala, yang mempertautkan daratan dan lautan. Sebelah barat laut merupakan pintu masuk ke benua afrika, sebelah timur laut merupakan kunci untuk masuk ke benua eropa dan sebelah timur merupakan pintu masuk bagi bangsa-bangsa non-Arab, timur tengah dan timur dekat, terus membentang ke India dan cina. Setiap benua mempertemukan lautnya dengan jazirah arab dan setiap kapal laut yang berlayar tentu akan bersandar di ujungnya.

 

       Karena letak geografisnya seperti itu pula, sebelah utara dan selatan dari jazirah arab menjadi tempat berlabuh berbagai bangsa untuk saling tukar-menukar perniagaan, peradaban, agama dan seni.

       

       Ditilik dari silsilah keturunan dan cikal-bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum bangsa arab menjadi 3 bagian, yaitu: Arab Ba’idah, Arab aribah, Arab Musta’ribah.

 

       Arab Aribah berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku, yang terkenal adalah 2 kabilah yaitu kabilah himyar dan kahlan.Adnaniyun  (Keturunan  ismail ibn Ibrahim). Pada mulanya wilayah utara diduduki golongan ‘Adnaniyun, dan wilayah selatan didiami golongan Qahthaniyun.Akan tetapi, lama kelamaan kedua golongan itu membaur karena perpindahan –perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.

 

 

 

     Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (tribe) dan dipimpin oleh seorang syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, kesetiaan atau solidaritas bagi suatu kabilah / suku. Mereka suka berperang. Karena itu peperangan antar suku sering sekali terjadi. Sikap ini tampaknya telah menjadi tabi’at yang mendarah daging dalam diri orang arab.

        

 

     Masyarakat arab penghuni semenanjung Arabia terdiri dari 2 golongan, yaitu golongan Sifat masyarakat Badui arab dapat diketahui, antara lain, bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.

badawi yang hidup tidak menetap dan golongan hadhar, yang hidup menetap di kota-kota

 

     Kaum badawi meremehkan industri kerajinan tangan, pertanian, perdagangan, dan dan pedusunan. Golongan tersebut pertama adalah mayoritas. pelayaran. Mereka menggantungkan penghidupannya pada hasil ternak. Cara lain yang ditempuh untuk memperoleh penghidupan ialah merampas atau menyerang kabilah lain yang dipandangnya sebagai musuh.

 

     Anggota-anggota kabilah badawi sangat kuat rasa kesetiakawanannya. Satu sama lain saling membantu dan membela, tidak pandang apakah orang yang dibelanya itu salah atau benar. Orang yang lemah berada di bawah lindungan yang kuat dan yang satu dipandang sebagai kekuatan bagi yang lain. 

 
B. Sistem Pemerintahan

 

       Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari islam, bisa dibagi menjadi 2 bagian:

 

1.   Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak bisa merdeka dan berdiri sendiri.

 

2.  Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan layaknya seorang raja yang mengenakan mahkota. hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja. Mayoritas di antara mereka memiliki kebebasan tersendiri. Sebagian diantara mereka mempumyai subordinasi.

 

      Raja-raja yang memiliki mahkota adalah raja-raja yaman, Ghassan, dan hirrah. Sedangkan penguasa-penguasa lain di jazirah arab tidak memiliki mahkota.

 

I. Raja-raja di Yaman

 

       Suku terdahulu yang dikenal di Yaman dari kalangan arab Aribah adalah kaum saba’. Mereka bisa diketahui lewat penemuan fosil Aur, yang hidup 20 abad sebelum masehi (SM) . Puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai pada 11 tahun SM.

 

       Perkembangan mereka bisa dibagi menurut tahapan-tahapan berikut ini:

 

1.  Abad-abad sebelum tahun 650 SM. Raja-raja mereka saat itu bergelar “Makrib Saba”, dengan ibukotanya Sharawah. Puing-puing peninggalan mereka dapat di temui dengan prjalanan sehari ke arah brat dari negeri Ma’rib, yang dikenal dengan istilah Kharibah. Pada zaman merekalah dimulainya pembangunan bendungan, yang dikenal dengan nama bendungan Ma’rib, yang sangat terkenal dalam sejarah yaman.

 

2.  Sejak tahun 650 SM. Hingga tahun 110 SM. Pada masa-masa itu mereka menanggalkan gelar “Makrib”, hanya dikenal dengan raja-raja saba’. Mereka menjadikan Ma’rib sebagai ibukota, sebagai ganti dari Sharawah. Puing-puing kota ini dapat ditemui sejauh 60 Mil dari Shan’a’ ke arah timur.   


3.  Sejak tahun 115 SM. Hingga tahun 300 SM. Pada masa-masa itu kabilah Himyar dapat mengalahkan kerajaan Saba’. Dan menjadikan Raidan sebagai ibukotanya, sebagai penggganti dari Ma’rib. Kemudian Raidan diganti menjadi Dhaffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di sebuah bukit  di dekat yarim. Pada masa itulah mereka mulai jatuh dan runtuh.

 

4.  Sejak tahun 300 M. Hingga masuknya Islam ke Yaman. Pada masa itu sering terjadi kekacauan, keributan, revolusi, peperangan antar suku, yang justru membuat mereka sendiri menjadi mangsa bangsa lain. Pada masa tersebut bangsa Romawi masuk ke And. Atas bantuan bangsa Romawi pula orang Habasyah dapat merebut Yaman. Yang justru disibukkan persaingan antara kabilah Hamdan dan kabilah Himyar. Penjajahan berlangsung hingga tahun 378 M. Kemudian Yaman dapat merebut kemerdekaannya lagi. Tapi kemudian bendungan Ma’rib pun jebol sehingga menimbulkan banjir besar, lalu disusul satu kejadian besar yg mengakibatkan ambruknya peradaban mereka serta membuat mereka menjadi terpecah belah.

 

 

II.  Raja-raja di Hirah.

 

       Bangsa Persia bisa menguasai Iraq dan wilayah-wilayah sekitar-nya, setelah Cyrus Yang Agung(557-529 SM.) dapat mempersatukan bangsa Persia, sehingga tak seorang pun berani menyerangnya, hingga muncul Alexander dari Macedonia pada tahun 326 SM. Yang mana ia mampu mengalahkan raja-raja mereka dan menghancurkan persatuan mereka. Akibatnya, negeri mereka terpecah belah dan muncul raja-raja baru, yang disebut dengan raja-raja Thawa’if. Raja-raja thawa’if ini berkuasa atas wilayah-wilayahnya sendiri secara terpecah hingga tahun 230 SM. Pada era kekuasaan raja-raja Thawa’if ini orang-orang Qahthan berpindah dan menguasai daerah subur di iraq. Kemudian mereka bergabung dengan keturunan adnan yang juga berhijrah, dan mereka bersama-sama menguasai sebagian dari jazirah Eufrat.

 

 

III.   Raja-raja di Syam         

            

              Pada masa Bangsa Arab banyak diwarnai perpindahan berbagai kabilah, maka suku-suku Qudha’ah juga ikut berpindah ke berbagai daerah di pinggiran Syam dan mereka menetap di sana. Mereka adalah Bani Sulaih bin halwan, di antara mereka adalah Bani Dhaj’am bin sulaih, yang dikenal dengan sebutan Dhaja’amah.

 

 

              Mereka dipergunakan Bangsa Romawi sebagai tameng untuk menghadapi gangguan orang-orang Arab sekaligus benteng pertahanan untuk Bangsa Persi. Bangsa Romawi mengangkat seorang raja dari suku ini, yang berlangsung hingga beberapa tahun. Raja mereka yang terkenal ialah Ziyad bin habulah. Kekuasaan mereka bertahan sejak awal abad kedua Masehi hingga akhir abad itu. Kekuasaan mereka berakhir setelah kedatangan suku Ghassan, yang mengalahkan Dhaja’amah. Bangsa Romawi mengangkat mereka sebagai raja bagi semua bangsa arab di syam. Ibukotanya adalah Dumatul-Jandal. Suku Ghassan ini terus berkuasa sebagai kaki tangan imperium Romawi, hingga meletus Perang Yarmuk pada tahun 13 H. Raja mereka yang terakhir , Jabalah bin Al-Aiham pada masa amirul mukminin Umar bin Al-khattab.

 

 

IV.  Imarah di Hijaz

 

       Bani Adnan berpencar ke Yaman pada saat perang Bukhtanashar II (tahun 587 SM.) lalu pergi bersama Ma’ad ke Syam. Setelah tekanan Bukhtanashar mulai mengendor, maka Ma’ad kembali ke Makkah, namun dia tidak mendapat seorang pun dari Bani Jurhum kecuali Jursyum bin Jalhamah. Lalu dia menikahi putrinya, Mu’anah dan melahirkan Nizar.

     

      Setelah itu keadaan Bani Jurhum mulai suram di makkah dan posisi mereka semakin terjepit. Seringkali mereka berbuat semena-mena terhadap para utusan yang datang ke sana dan menghalalkan harta di ka’bah. Hal ini membuat murka orang-orang bani adnan. Tatkala bani khuza’ah tiba di Marr Dzahran dan bertemu orang-orang bani adnan dari Jurhum, serta atas bantuan suku-suku adnan yang lain, mereka menyerang Jurhum hingga dapat diusir dari makkah.

 

 

C. Kondisi politik   

 

       Sejak zaman dahulu bangsa arab telah mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa lain yang berdekatan, sekalipun hubungan-hubungan itu tidak seberapa kuat dibanding dengan hubungan antara bangsa-bangsa yang telah maju pada zaman itu.

 

       Hubungan antara bangsa arab dan bangsa-bangsa lain terjadi melalui berbagai jalan, yang terpenting ialah jalan perdagangan. Sejak zaman dahulu Semenanjung arabia merupakan lalulintas perdagangan yang sangat penting antara negeri-negeri di timur dan barat.

 

       Sudah barang tentu dari hubungan-hubungan dagang yang menguntungkan itu mereka sedikit banyak menyerap kebudayaan serta peradaban Rumawi dan Persia.

 

       Jalan lain lagi yang menghubungkan bangsa arab dengan bangsa-bangsa Persia dan Rumawi ialah adanya dua kesultanan yang terletak di daerah-daerah perbatasan, yaitu kesultanan Hirah di perbatasan Persia dan kesultanan bani Ghassan di perbatasan Syam.

 

       Kesultanan Hirah puncak kejayaannya pada zaman Sultan Al- Mundzir III tahun 522 M. Setelah Sultan Al- Mundzir V mangkat (tahun 602 M) kerajaan Persia menghapus kesultanan Hirah, dan menempatkan wilayah itu di bawah kekuasaan seorang bangsawan Persia. Keadaan seperti itu berlangsung hingga daerah tersebut jatuh di tangan Khalid bin Al-Walid sesudah islam.

 

       Lain halnya dengan kesultanan Bani Ghassan, kesultanan yang terletak di daerah perbatasan Syam itu (dekat Hauran atau Balqa) tidak seberapa besar. Tidak terdapat informasi yang jelas dan pasti mengenai pusat pemerintahan kesultanan tersebut. Dari pusaka kesusasteraan yang ada diketahui bahwa  sebagian dari para penya’ir kuno mengatakan, ibukota kesultanan mereka ialah Golan atau Galia, kadang-kadang ada yang menyebut Jilq- dekat Damsyiq-sebagai ibukota kesultanan Bani Ghassan.

 

       Orang-orang Bani Ghassan berasal dari keturunan kabilah Azd, termasuk di dalam kabilah kahlan bin Qahthan di Yaman. Umumnya sejarah kehidupan mereka tidak jelas dan kabur dalam sejarah bangsa Arab secara keseluruhan.



D. Agama-agama yang dianut Bangsa Arab Pra islam

 

I. Agama Nasrani

 

        Agama Nasrani sejak awal pertumbuhannya telah mengalami ujian berat; para pemeluknya yang ekstrem ditafsirkan tak memahami agama Nasrani yang dicampur-aduk dengan ajaran paganisme oleh orang-orang Rumawi yang memeluk agama Nasrani.

 

       Najran adalah sebuah kota di daerah Yaman merupakan pusat kegiatan agama nasrani di Semenanjung Arabia. Najran merupkan daerah yang subur dan padat penduduknya. Sebagian besar dari mereka hidup bercocok tanam, menenun kain sutera, berdagang barang-barang terbuat dari kulit , membuat senjata dan lain-

lain. Najran terletak dekat lalulintas perniagaan yang membujur ke daerah Hirah.

 

       Kaum Nasrani Najran menganut aliran Yacobian, karena itu mereka lebih erat hubungannya dengan orang-orang Habasyah (Ethiopia) daripada hubungannya dengan orang-orang Rumawi.

 
       Para pendeta Nasrani giat menyebarkan ajaran-ajaran agamanya di kalangan orang-orang Arab hingga terdapat di antaranya yang cenderung kepada sistem kerahiban. Misalnya, Handzalah bin At-Tha’iy, Qus bin Sa’idah, ‘Adiy bin Zaid.

 

 

2. Agama Yahudi

 

      Beberapa abad sebelum islam agma Yahudi sudah tersebar di Semenanjung Arabia hingga terbentuklah koloni-koloni Yahudi di beberapa tempat. Yang paling terkenal ialah Yatsrib, yang berubah namanya menjadi Madinah.

      

       Para pemeluk agama Yahudi di Semenanjung Arabia terdiri dari 2 golongan, yaitu orang-orang Yahudi pendatang dari negeri lain dan orng-orang Arab sendiri yang memeluk agama Yahudi. Yaqut di dalam “Mu’jam”-nya menyebut, para pemeluk agama Yahudi di Yatsrib adalah orang-orang Arab.                                                                                                                              

 

       Di Yatsrib terdapat 3 suku Yahudi, yaitu Bani Nadhir, Bani Qainuqa’ dan Bani Quraidhah.

 

       Di Semenanjung Arabia orang-orang Yahudi terkenal dengan kemahirannya bercocok tanam. Mereka terkenal pula dengan kemahirannya membuat barang-barang logam. Mereka mahir dalam pekerjaan pandai besi dan membuat berbagai jenis senjata.

 

       Orang-orang Yahudi giat sekali menyebarkan agama mereka di daerah selatan Arabia hingga banyak kabilah-kabilah Arab yang memeluk agama tersebut. Di antara mereka yang paling terkenal ialah Dzu Nuwas.

 

       Bahasa Yahudi banyak pengaruhnya terhadap bahasa Arab. Orang-orang Yahudi memasukkan banyak kata-kata dan peristilahan-peristilahan agama yang belum dikenal orang-orang Arab. Misalnya, kata-kata “Jahannam”,  “syaitan”, dan lain-lain.

 

 

3. Pemujaan berhala di negeri arab dan asal mulanya  

 

       Orang-orang Qureisy sejak dahulu kala tetap berpegang teguh pada agama yang diajarkan oleh Nabi Ibrahin a.s. dan puteranya, Nabi Isma’il a.s. yaitu agama tauhid. Mereka bersembah sujud hanya kepada Allah. Keadaan seperti itu berlangsung selama berabad-abad hingga saat munculnya seorang Arab bernama ‘Amr bin Luhaiy Al-khuza’iy. Dialah orang arab pertama yang tidak memeluk agama tauhid. Dia jugalah orang Arab pertama yang memancangkan berhala-berhala dan menyuruh orang lain menyembahnya.

 

       Mengenai hal itu Ibnu Hisyam di dalam “Sirah”nya mengatakan sebagai berikut:

 

       “Pada suatu hari ‘Amr bin Luhaiy meninggalkan Makkah pergi ke Syam untuk suatu urusan. Setibanya di Ma’ab (daerah Balqa) ia melihat penduduk setempat sedang menyembah berhala. Ia bertanya : “patung apakah yang kalian sembah itu ? Mereka menjawab : ‘Patung berhala yang kami sembah inilah yang kami mintai hujan dan ia menurunkan hujan. Jika kami minta pertolongan kepadanya dia memberi pertolongan kepada kami !’ ‘ Amr bertanya lagi : ‘Apakah kalian bersedia memberi kami sebuah berhala untuk kami bawa pulang ke Makkah dan disembah orang banyak ?’ Mereka lalu memberinya sebuah berhala yang dipancangkan, kemudian ia menyuruh orang lain mengagung-agungkan dan menyembahnya.

 

 

4. Agama Majusi

 

       Orang-orang Majusi sejak dahulu kala dikenal sebagai kaum yang menyembah unsure-unsur alamiah, yang paling dianggap besar dan mulia ialah api, sehingga mereka menekuni peribadatan menyembah dan mengagung-agungkan api. Mereka membangun tempat-tempat peribadatan dan kelenting-kelenting di berbagi daerah tempat permukiman. Mereka mempunyai cara hidup dan aturan-aturan tersendiri yang rumit. Akan tetapi kemudian kepercayaan dan aturan-aturan keagamaan  mereka semakin lemah dan merosot tidak ada lagi yang tinggal selain menyembah api dan matahari. Pada akhirnya agama mereka berubah sifatnya menjadi upacara-upacara tradisional yang dilakukan ditempat-tempat peribadatan tertentu. Di luar tempat-tempat ibadat mereka bebas melakukan apa saja menurut sesuka hatinya. Dengan demikian mereka tidak ada bedanya dengan orang yang tidak beragama, baik dari segi tingkah laku, perbuatan dan moral.

 

 

E. Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra Islam.     

 

       Dalam masyarakat Arab pra  Islam terdapat beberapa kelas masyarakat, yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan seseorang dengan keluarga di kalangan Bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun dengan pedang terhunus dan darah yg tertumpah.

 

       Sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah RA, bahwa pernikahan masa itu ada 4 macam :  


       

1. Pernikahan secara spontan, dalam arti laki-laki dapat langsung menikahi perempuan dengan cara mengajukan lamaran kepada wali wanita.

 

2.   Seorang laki-laki dapat langsung berkata pada istrinya yg baru suci dari haid untuk menemui laki-laki lain, hingga hamil dan mendapatkan anak. Dengan kata lain nikah seperti ini dinamakan Nikah istibdha.

 

3.  Pernikahan Poliandri, yaitu seorang perempuan dikumpuli oleh beberapa orang laki-laki yang jumlahnya tidak lebih dari 10 orang.

 

4.   Seorang laki-laki boleh mendatangi wanita yang dikehendakinya, disebut juga wanita pelacur. Biasanya mereka mereka memasang bendera putih di depan pintunya, sebagai tanda bagi laki-laki yang ingin mengumpulinya. Jika perempuan tsb melahirkan dia bisa mengundang laki-laki yang pernah mengumpulinya, setelah diadakan undian dan yang mendapatkan undian maka dia bisa mengambil anak itu sebagai anaknya.

 

       Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan  peperangan, yang disulut tajamnya mata pedang dan anak panah. Pihak yang menang dalam peperangan antar kabilah bisa menawan para wanita pihak yang kalah, lalu menghalalkannya menurut kemauannya. Namun anak-anak mereka akan mendapatkan kehinaan selama hayatnya.

 

       Di antara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyyah ialah poligami tanpa batas. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau golongan tertentu, kecuali hanya sebagian kecil dari kaum laki-laki dan wanita yang memang masih memiliki keagungan jiwa. Mereka tidak mau menerjunkan diri ke dalam kehinaan ini.

 

       Ada pula di antara mereka yang mengubur hidup-hidup anak putrinya, karena takut aib dan karena kemunafikan, atau membunuh anak laki-laki karena takut miskin dan lapar. Masalah ini telah dissebutkan di dalam Al-Qur’an,

      

       “Dan, janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepada kalian dan kepada mereka. “ ( Al-An-am: 152).

                                                                                                                                                                                    

       Juga disebutkan di tempat lain dalam Al-Qur’an, dalam surat An-Nahl:58-59, Al-Isra’: 31, dan At-Takwir:8.

 

       Tapi hal ini tidak dianggap sebagai kebiasaan yang memasyarakat. Sebab sebagaimana pun juga mereka masih membutuhkan anak laki-laki, untuk membentengi diri dari serangan musuh.        

        Sedangkan pergaulan seorang laki-laki dengan saudaranya, anak saudaranya dan kerabatnya sangat rapat dan dekat. Mereka hidup untuk fanatisme kabilah dan mati pun rela karenanya. Landasan aturan sosial adalah fanatisme rasial dan marga.

 

       Secara garis besarnya, kondisi sosial mereka bisa dikatakan lemah dan buta, kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang, wanita diperjualbelikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan di tengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat diperlukan untuk menghadang serangan musuh.

 

 

F. Kondisi Ekonomi  

 

       Kondisi ekonomi bangsa arab sangat mengikuti kondisi sosialnya ini terlihat dari jalan kehidupannya. Perdagangan merupakan sarana yang paling dominan untuk memenuhi kehidupannya. Jalur-jalur perdagangannya tidak bisa dikuasai begitu saja kecuali jika sanggup memegang kendali keamanan dan perdamaian. Pasar-pasar yang terkenal, seperti Ukazh, Dzil- Majaz, dll. Pasar-pasar ini dibuka pada saat bulan-bulan suci dimana kondisinya aman.

 

       Bangsa Arab tidak mengenal perindustrian atau kerajinan, adapun hasil industri diperoleh dari rakyat Yaman, Hirah, dan pinggiran Syam. Meski begitu ada sebagian kecil yang mengenal pertanian dan penggembalaan hewan ternak. Tapi ada juga sebagian kecil yang mengenal pemintalan. Kemiskinan, kelaparan, dan orang- orang yang telanjang adalah pemandangan yang biasa, karena kekayaan yang ada di sana mengundang pecahnya peperangan.

 

 

G. Akhlak     

 

       Di antara akhlak yang dimiliki masyarakat arab pra islam antara lain :

 

1.  Kedermawanan, sifat ini adalah akhlak  yang menonjol dalam keseharian mereka, setiap orang saling berlomba dan membanggakan diri dalam masalah kedermawanan dan kemurahan hati.

 

2.  Memenuhi janji, di mata mereka janji sama dengan hutang yang harus dibayar. Bahkan mereka lebih suka membunuh anaknya sendiri dan membakar rumahnya sendiri daripada meremehkan janji.

      

 

3. Kemuliaan jiwa dan keengganan menerima kehinaan, kebiasaan mereka bersikap berlebih-lebihan dalam masalah keberanian, sangat pecemburu dan cepat naik darah.

 

4.  Pantang mundur, dalam arti kebiasaan mereka jika menginginkan sesuatu yang disana ada kemuliaan, maka tak ada yang boleh menghalanginya.

 

5.   Kelemahlembutan dan suka menolong orang lain.

 

6.  Kesederhanaan pola kehidupan badui, mereka tidak mau dilumuri warna-warni peradaban dan gemerlapnya. Hasilnya adalah kejujuran, dapat dipercaya, meninggalkan dusta dan pengkhianatan.

 

       Di samping letak yang geografis dari jazirah arab, serta adanya akhlak-akhlak  yang sangat berharga ini merupakan sebab mengapa mereka dipilih untuk mengemban risalah yang menyeluruh. Meskipun sebagiannya bisa menjurus kepada kejahatan, tapi jika mendapat sentuhan kebaikan pasti akan mendatangkan manfaat bagi kehidupan masyarakat keseluruhan. Dan ini adalah tugas Islam.

 

       Mungkin sifat yang bisa diteladani adalah sifat dari pemenuhan janji, kemuliaan jiwa dan semangat pantang mundur. Sebab kejahatan dan kerusakan tidak bisa disingkirkan kecuali dengan kekuatan. Demikian kondisi akhlak masyarakat arab pra Islam, meski tidak panjang lebar kiranya perlu pembahasan yang lebih mendetail.

 

  

              

 
(OLEH  :  ZENAL ARDANI)

I.  Filsafat Ilmu    

Filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :

  • Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
  • Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
  • Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
A.  Fungsi Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :

  • Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
  • Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
  • Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
  • Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
  • Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
 

 

1

       Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.

B. Substansi Filsafat Ilmu

Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.

1.Fakta atau kenyataan

Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.

  • Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
  • Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
  • Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
  • Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
II.  Filsafat Umum.

     

       Filsafat Umum  merupakan telaah kefilsafatan yang membahas tentang sesuatusecara mendalam berdasarkan pada kekuatan pikiran belaka. Dengan demikian dalam Filsafat penilaian didasarkan pada logika rasional. Berbagai pengertian Filsafat dirumuskan oleh para Filsuf namun pada dasarnya mengacu pada penggunaan akal secara mendalam dalam menemukan jawaban atas sebuah permasalahan. Hal ini merupakan wujud penyempitan makna Filsafat, dimana filsafat ditekankan pada latihan berpikir secara mendalam untuk memenuhi kesenangan akal.

 

A.  Fungsi Filsafat Umum

 

1.  Agar terlatih berpikir serius.

2.  Agar mampu memahami filsafat.

3.  Agar mampu jadi filosof.

4.  Agar mampu jadi warga Negara yang baik.

2

 

 

 

 

B.  Substansi Filsafat Umum

 

1.  Menyelidiki bagian materia yang abstraknya bukan yg empiris.

2.  Menyelidiki sesuatu yang lebih luas dari objek materia sains seperti : Tuhan & hari akhir.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3

 
  JENIS MEDIA DALAM KARAKTERISTIKNYA

Media pembelajaran banyak ragamnya. Raharjo (1991) menyatakan bahwa ada media yang hanya dapat di manfaatkan bila ada alat untuk menampilkannya. Ada pula yang penggunaannya tergantung pada hadirnya seorang guru, tutor atau pembimbing (teacher independent). Media yang tergantung pada hadirnya guru lazim tersebut media instruksional dan bersifat “Self Contained”, maknanya: informasi belajar, contoh, tugas dan latihan serta umpan balik yang diperlakukan telah di programkan secara terintegrasi.

Rowntree mengelompokan media pengajaran menjadi lima macam dan disebut Modes, yaitu:

1. Interaksi Insani

Media ini merupakan komunikasi langsung antara dua orang atau lebih. Dalam komunikasi tersebut kehadiran suatu pihak secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi perilaku lainnya. Kehadiran guru mempengaruhi perilaku siswa. Interaksi insani dapat berlangsung melalui komunikasi verbal atau non verbal. Komunikasi yang bersifat verbal memegang peranan penting terutama dalam aspek perkembangan kognitif siswa. Untuk mengembangkan segi-segi afektif, bentuk-bentuk komunikasi non verbal seperti prilaku, penampilan fisik, roman muka, gerak-gerik, sikap, dan lain-lain memegang peranan penting sebagai contoh-contoh nyata intensitas interaksi insani dalam berbagai metode mengajar tidak selalu sama. Intensitas interaksi insani dalam mengajar dengan metode ceramah lebih rendah dbandingkan dengan metode diskusi, permainan, simulasi, sosiodarma, dan lain-lain.

2. Realita

Realita merupakan bentuk perangsang nyata seperti orang-orang, bintang, benda-benda, peristiwa dan sebagainya yang diambil dari siswa. Dalam interaksi insani siswa berkomunikasi dengan orang-orang, sedangkan dalam realita orang-orang tersebut hanya menjadi objek pengamatan, objek studi siswa.

 

3. Pictorial

Media ini merupakan penyajian berbagai bentuk variasi gambar dan diagram nyata atupun symbol, bergerak atau tidak, dibuat diatas kertas, film, kaset, disket dan media lainnya. Media pictoral mempunyai keuntungan karena hampir semua bentuk, ukuran, kecepatan, benda, makhluk dan peristiwa dapat disajikan dalam media ini. Penyajiannya juga dapat bervariasi dari bentuk yang paling sederhana seperti sketsa dan bagan sampai dengan yang cukup sempurna seperti film bergerak yang berwarna dan bersuara, atau bentuk-bentuk animasi yang disajikan dalam video atau komputer.

4. Simbol Tertulis

Symbol tertulis merupakan media penyajian informasi yang paling umum, tetapi tetap efektif. Ada beberapa macam bentuk media symbol tertulis seperti: buku teks, buku paket, paket program belajar, modul dan majalah-majalah. Penulisan symbol-simbol tertulis biasanya dilengkapi dengan media pictoral.

5. Rekaman Suara

Berbagai bentuk informasi dapat disampaikan kepada anak dalam bentuk rekaman suara. Rekaman suara dapat disajikan secara tersendiri atau digabung dengan media pictorial. Penggunaan rekaman suara tanpa gambar dalam pengajaran bahasa cukup efektif.

Dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Pendidikan”, Sudirman N (1991) membagi media pembelajaran sebagai berikut:

  1. Media Auditif
Yaitu media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio, cassette recorder, piringan hitam dan laboratorium bahasa. Media ini tidak cocok untuk orang yang mempunyai kelainan dalam pendengaran.

 

  1. Media Visual
Yaitu media yang hanya mengandalkan indera penglihatan. Meia visual ini ada yang menampilkan gambar diam seperti: film, rangkai foto, gambar atau lukisan, cetakan dan juga yang menampilkan gambar atau symbol yang bergerak seperti film bisu dan film kartun.

  1. Media Audio Visual
Yaitu media yang mempunyai unsure suara dan unsure gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua yaitu penglihatan dan pendengaran. Dengan kata lain baik unsure suara maupun unsure gambar berasal dari satu sumber. Adapun yang teramsuk jenis media audio visual ini antara lain: film (gambar hidup), loop film (film gelang), televise (termasuk TVST) dan video. Media audiovisual ini dapat dibagi lagi kedalam a) audiovisual diam dan b) audiovisual gerak.   

Penggunaan media sangat bergantung kepada tujuan pengajaran, kemudahan mendapatkan media yang diperlukan, serta kemampuan guru dalam menggunakannya. Untuk mempertinggi kualitas pengajaran, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang guru dalam menggunakan media pengajaran.

Pertama, guru perlu memiliki pemehaman media pengajaran, yaitu tentang jenis dan manfaat media pengajaran, criteria memilih dan menggunakan media pengajaran, menggunakan media sebagai alat Bantu mengajar, dan tindak lanjut penggunaan media dalam proses belajar siswa. Kedua, guru harus trampil membuat media pengajaran sederhana untuk keperluan pengajaran, terutama media dua dimensi atau media grafis, media tiga dimensi, dan media proyeksi. Ketiga, pengetahuan dan keterampilan dalam menilai keefektifan penggunaan media dalam proses-proses pengajaran.

Apabila penggunaan media sebagai alat pengajaran tidak mempengaruhi proses dan kualitas pengajaran, sebaiknya guru tidak memaksakan penggunaannya, dan perlu mencari usaha lain diluar media pengajaran.

Sejalan dengna perkembangan IPTEK penggunaan media, baik yang bersifat visual, audial, projected still media maupun projected motion media bisa dilakukan secara bersama dan serempak melalui satu alat saja yang disebut multi media. Contoh: dewasa ini penggunaan komputer tidak hanya bersifat projected motion media, namun dapat meramu semua jenis media yang bersifat interaktif.


HIMPUNAN MAHASISWA (HIMA) PERSIS PK STAI PERSIS BANDUNG