HIMA PERSIS PK STAI PERSIS

HIMA PERSIS PK STAI PERSIS BANDUNG

 
I.        Biografi Imam Bukhary
   Nama lengkap Imam Bukhary ialah Abu’ Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah al-Ja’fi ibn bardizbah al- Bukhari. Beliau dilahirkan  di Bukhara pada malam hari raya Ramadhan, tepatnya  pada 13 Syawal 194 H (810 M) dan wafat juga  pada 30 Ramadhan 256 H (872 M) menjelang hari raya H.
       Beliau dikenal dengan nama Imam Bukhari karena disandarkan kepada nama tempat kelahirannya, Ayahnya dikenal sebagai ulama yang shalih namun beliau meninggal ketika Bukhari masih kecil. Sementara kakeknya yg mula-mula masuk Islam ialah al-Mughirah yang diIslamkan oleh Gubernur Bukhara yang bernama al-Yaman al-Ja’fi, karenanya beliau dinamakan al-Ja’fi.
       Sejak kecil telah menjadi Yatim bukan berarti kehidupannya lepas kontrol serta jauh dari pendidikan agama Islam malahan beliau telah berhasil menghafal al-Qur’an pada usia masih kecil. Selain mendapat pendidikan dari sang Ibu beliau mendapat pelajaran pertama dari seorang Ulama Fiqih.
       Pada usia 10 tahun Bukhari mulai menghafal hadits, dan pada umur 16 tahun beliau menghafal kitab-kitab karya Ibnul Mubarak dan Wakie’ serta Ia melawat untuk menemui ulama-ulama hadits di berbagai penjuru kota dan negeri. Lawatan beliau meliputi Maru, Naisabury, Ray, Baghdad, Basrah, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Damaskus, Asqalan, dll.
       Guru-gurunya berjumlah lebih dari 1000 orang. Beliau menyebutkannya dalam kitab al-Jami al-Shahih atau yg lebih dikenal dengan shahih al-Bukhari yg disusun hasil dari menemui 1080 orang guru dalam bidang Hadits.
     Ibnu Hajar al- Asqalani mengatakan bahwa guru-guru tersebut dapat dikategorikan kepada lima tingkatan, mulai dari tabi’in sampai kepada para mahasiswa yang sama-sama belajar dengan Bukhari sendiri. Setiap gurunya tersebut ia beri penilaian secara jujur tanpa ada pilih kasih. Hal ini dilakukannya, untuk menentukan hadits apakah maqbul atau mardud.
   
       Di antara guru-gurunya tersebut adalah Makki ibn Ibrahim al-balakhi, ‘Abdan ibn ‘Utsman al-Mawarzi,’Abdullah ibn Musa al-Qaisi, Abu’Alim al- Syaibani, Muhammad ibn ‘Abdullah al-Ashari, Muhammad ibn Yusuf al- Faryabi, Abu aim al-Fadl ibn Dikkien, ‘Ali ibn Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Ismail ibn Idris al-Madini, Ibn Rahawah dan lain sebagainya. 

2.  Biografi Imam Muslim 
       Imam Muslim, nama lengkapnya adalah Abu Husain Muslim ibn al-Hijjaj ibn Muslim al-Qusyairi al- Naisaburi. Beliau dinisbatkan kepada Nisabury karena beliau adalah putra kelahiran Nisabur, tahun 204 H (820 M) yakni, kota kecil di Iran bagian Timur Laut. Beliau juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya Qusyair bin  Ka’ab bin Rabi’ah bin Sha-sha;ah suatu keluarga bangsawan besar.
       Imam Muslim adalah orang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan dan memiliki kegigihan dalam mencarinya, terutama dalam bidang hadits. Semenjak kecil, ketika umurnya menginjak empat belas tahun, ia mulai mengkhususkan diri menari dan mendengar hadits-hadits dari guru-gurunya yang ada di Naisabur. Karena ketertarikannya kepada hadits, kemudian beliau mulai melaksanakan rikhlahilmiah ke luar negeri, di antaranya ke Hijaz, Irak, Suriah, dan Mesir.
       Dalam perjanannya ini telah bertemu dengan guru-guru terkemuka dan penghafal-penghafal hadits. Sebagaimana Imam Bukhari pada dasarnya guru-guru Imam Muslim sama dengannya, hanya saja Muslim pernah berguru kepada bukhari, terutama ketika Imam Bukhari berkunjung ke Naisabur.
       Di antara guru-gurunya yang lain beliau pernah meriwayatkan hadits mereka, adalah : Yahya ibn Yahya al-Naisaburi, Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn rawahih, ‘abdullah ibn maslamah, al-Qa’nabi, al-Bukhari dsb .
       Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama-ulama Baghdad yang sering beliau datangi, di antaranya At-turmudzy, Yahya ibn Sa’id, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahab al-Farra, Ahmad ibn Salamah, Abu Awamah,Ya’kub, Ibn Ishaq al-Isfarayini, Nair ibn Ahma, dan sebagainya.
       Di samping kedalaman ilmunya dalam bidang hadits, ia juga sangat terkenal dengan kewaraannya, zuhud, tawadhu, dan selalu ikhlas dalam berkiprah.
       Kesemuanya ini telah menempanya sehingga ia selalu muncul menjadi seorang ulama besar dan pakar ilmu hadits. Tidak kurang dari 20 buku telah beliau susun. Dan di antara karangannya yang paling monumental dan kita dapat membacanya sekarang al-jami al-Shahih Muslim, atau sering dikenal dengan Shahih Muslim.
      Shahih Muslim ini kitab yang kedua dari kitab-kitab hadits yang menjadi pegangan. Sesudah shahih Bukhary, Shahih Muslimlah yang dijadikan pedoman.

       Shahih Muslim lebih baik susunannya, daripada shahih Al-Bukhary; karena itu lebih mudah kita mencari hadits di dalamnya, daripada mencari di dalam Shahih Al- Bukhary.
       Muslim menempatkan hadits-hadits wudlu’ umpamanya seluruhnya di bagian wudlu’ tidak tersebar di sana-sini seperti halnya Shahih Al Bukhary.
       Diriwayatkan dari Muslim bahwa isi shahihnya sejumlah 7275 buah hadits dengan berulang-ulang.

 

       Kitab-kitab syarahnya, banyak juga. Ada sejumlah 15 buah. Yang amat terkenal ialah :

       1)  Al-mu’lim bi Fawa-idi Muslim,karangan AlMazary(536 H).

       2) Al Ikmal, karangan Al Qadli ‘Iyadl (544 H).    

       3) Minhajul Muhadditsin, karangan An Nawawy (676 H).

       4) Ikmalul ikmal, karangan AzZawawy (744 H).

       5) Ikmalul Ikmali Mu’lim, karangan Abu Abdillah Muhammad Al abiyy

           Al Maliky (927 H).

       Sebagian dari Mukhtasarnya, ialah Mukhtasar Al Mundziry

       Di antara yang mengikhtisarkannya pula, ialah Al Qurtuby (656 H), yang di syarahkan kembali olehnya dalam kitabnya al-Mufhim.
       Zawidnya telah dikumpul dan disyarahkan oleh Ibnul Mulaqqim (804 H).

 

       Menurut pendapat Muhammad Ajaj al-Khatib, (guru besar hadits di Universitas Damsyik), bahwa hadits yan tercantum dalam kitab Shahih Muslim berjumlah 3.030 buah hadits dengan tanpa pengulangan, dan bila dijumlahkan dengan hadits yang mengalami pengulangan, akan menjadi 10.000 hadits. Sementara menurut al-Khuli, ulama ahli hadits Mesir, hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim berjumlah 4.000 hadits yang diulang adalah 7.275 hadits.

       Menurut Imam Muslim sendiri, hadits-hadits tersebut meliputi hadits-hadits yang shahih yang beliau kumpulkan dan disaringnya dari 300.000 buah hadits. Dan untuk memilih hadits sejumlah itu ia telah menghabiskaan waktu selama 15 tahun.

 

Menurut para ulama kitab shahih muslim ini menempati peringkat kedua setelah Shahih al-Bukhari. Kitab Shahih muslim memiliki keistimewaan tersendiri, di antaranya :

 

1) Metode penyusunannya menggunakan prinsip Jarh dan Ta’dil, dengan menggunakan bentuk; Tahammul (periwayatan), seperti              : Hadatsani, Hadatsana, Akhbarani, Qala, dll.

2) Muslim lebih teliti dalam hal periwayatan hadits, sebab pada waktu menerima hadits ia mencatatnya dan menyampaikannya dengan cara bi al-lafzh.

3) Dalam susunannya,Shahih Muslim lebih sistematis sehingga hadits- haditsnya mudah untuk ditelusuri.

4) Shahih Muslim tidak memasukan fatwa sahabat atau tabi’in dalam memperjelas hadits yang diriwayatkannya.

 

       Di samping kelebihan yang dimilikinya juga tidak lepas dari kelemahannya :

1)   Di dalam nya ada hadits Mu’allaq kendati sedikit,

2)  Terdapat hadits mursal dan Munqathi’,

3)  Adanya periwayatan hadits dari perawi-perawi yang dianggap lemah.

       Terlepas dari adanya kelemahan-kelemahan tersebut di atas, yang jelas kitab shahih muslim telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan hadits. Sebab kitab ini dalam dunia islam secara sepakat dijadikan sebagai sumber ketiga dasar hukum islam setelah Al-Qur’an, Shahih Bukhari dan selanjutnya Shahih Muslim.

 

Para Ulama sepakat menyatakan, Kitab muslim adalah kitab kedua setelah kitab al- Bukhari dan tidak  seorang pun yang menyamai al-Bukhari dalam bidang mengkritik hadits,sanad-sanad hadits, dan perawi-perawinya selain Muslim.

 

       Abu’Ali al-Naisaburi Muhammad ibn ya’kub, bahwa ketika al- Bukhari diam di naisabur, sering kali Muslim berkunjung kepadanya, tetapi setelah terjadi perselisihan paham antara Muhammad ibn Yahya dalam masalah lafadz al-Qur’an, Muhammad ibn Yahya mencegah orang-orang mengunjungi al-Bukhari.     

 

 

3.  Latar belakang penyusunan kitab.       

    

a.  Seiring dengan bertambah luasnya pemalsuan hadits pada abad kedua yang disebabkan oleh pertarungan politik yang bertujuan untuk menumbangkan rezim Amawiyah, untuk mudah mempengaruhi massa dibuatlah hadits-hadits palsu sehingga menarik minat dan perhatian rakyat kepada pemerintah Abassiyah.

 

     Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Amawiyah ahli-ahli pemalsu hadits untuk membendung arus propaganda penganut-penganut faham Abassiyah.

 

     Di samping itu muncul pula golongan zindiq (pura-pura islam), tukang kisah yang berdaya upaya menarik minat pendengar untuk memperhatikan pengajaran-pengajarannya dengan membuat kisah-kisah palsu yang disandarkan kepada hadits-hadits maudlu’ (palsu).

 

b.    Banyaknya para penghapal hadits yang meninggal dunia akibat peperangan terutama pada akhir abad 1 H.
c. Periwayatan secara lisan dengan peperangan pada hapalan dan ingatan dalam keseragaman lafadz dan makna tidak bisa berlangsung lama disebabkan kondisi kaum muslimin sendiri dalam menghapal riwayat dan memelihara hapalan dikarenakan faktor keimanan dan berubahnya kondisi masyarakat di bidang sosial ekonomi dan politik.

 

d.    Pada masa tabi’in tidak dikhawatirkan lagi tercampurnya antara Al-Qur’an dan Hadits, sehingga tidak menimbulkan kesamaran tentang Al-Qur’an sebagai dasar tasyri’ yang pertama telah dibukukan, maka Hadits pun yang berfungsi sebagai interpretasi al-Qur’an, secara otomatis harus dibukukan pula. 

  

e. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju karena semakin luasnya scope pengenalan umat dan pertemuan peradaban antara orang islam dengan anak-anak negeri yang kemudian menjadi wilayah islam, begitu pula pengaruh literature yang dating dari luar, maka merangsang dan mendorong kea rah pentadwinan/ pembukuan Hadits, sebab Hadits adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan.

 

f. Pada umat islam sudah tersedia potensi atau sarana untuk keperluan penulisan, pengumpulan dan pembukuan Hadits yakni kepandaian tulis baca yang semakin meluas di kalangan bangsa Arab, dan semakin bersemangat memelihara dan membina Sunnah Nabi, baik dalam mencari, memahami, menghafal, mengamalkan, dan menyebarkan. Dengan demikian untuk aktivitas pentadwinan Hadits, umat islam siap lahir batinnya.


3. Karakter dan kedudukan kitab.    

 

   Shahih Al-Bukhary, adalah kitab yang mula-mula membukukan hadits-hadits shahih. Kebanyakan ulama hadits telah sepakat menetapkan bahwa Shahih Al-Bukhary itu adalah seshahih-shahih kitab sesudah Al-Qur’an.

    

     Tegasnya, dialah pokok pertama dari kitab-kitab pokok hadits. Al-Bukhary menyelesaikan Shahihnya dalam waktu 16 tahun. Ditiap-tiap beliau hendak menulis sebuah hadits, beliau mandi dan istikharah.

     Beliau menamainya dengan “Al-Jami’u ‘sh-Shahih Al Musnadu min haditsi rasul s.a.w.”      

      

      Isinya berjumlah 9082 buah hadits marfu’ dan sejumlah hadits mauquf dan maqthu’. Ibnu Shalah menetapkan bahwa bilangan hadits Al-Bukhary ada 7275 buah hadits dengan berulang-ulang. Kalau tidak berulang-ulang ada 4000 buah hadits. Hitungan Ibnu Shalah ini diikuti oleh An Nawawy.

 

      Kata Al-Hafidh : “Mereka menetapkan demikian karena mentaqlidi Al Hamawy. Sesudah saya hitung baik-baik dengan cermat terdapatlah bahwa jumlah hadits Al-Bukhary beserta dengan yang berulang-ulang, selain dari hadits mu’allaq dan mu’tabi ada 7397 buah hadits dan yang tidak berulang-ulang ada 2602 buah. Jumlah yang mu’allaq ada 1341 buah. Jumlah yang mutabi’ ada344 buah. Jumlah seluruhnya ada 9082 hadits.

 

        Kedalam hitungan ini tidak masuk hadits-hadits mauquf dan hadits-hadits maqthu’.

 

       Al-Bukhary membagi kitabnya kepada 97 kitab, 3451 bab. Jumhur ulama hadits menyambut hadits-hadits Shahih Al-Bukhary tanpa memeriksanya kembali. Ad-Daraquthny telah menyisihkan 110 buah hadits. 30 buah diantaranya disetujui oleh Muslim. 78 buah hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhary sendiri. Penyaringan ini telah dibantah oleh Ibnu Hajar dalam Muqaddamah Fathu ‘I-Bari. Sebagian bantahannya itu dapat diterima secara ilmiah.

 

       Sesungguhnya, tak ada sebuah kitab pun yang mendapat perhatian besar sebesar perhatian yang diperoleh oleh Shahih Al-Bukhary. Lantaran itu, didapatlah syarahnya sebanyak 82 buah. Syarah-syarah itu ada yang panjang, ada yang ringkas, ada yang sedang-sedang.

      

       Di antaranya, ialah “A’lamu’s-Sunan, susunan Al Khaththaby (388 H). Al Kawakibu ‘d- Darari, susunan Muhammad ibn Yusuf Al Kirmany (775 H). Syarah yang banyak tersebar dalam masyarakat, Irsyadu’s-Sari, karangan Ahmad ibn Muhammad Al Mishry Al Qashtalany ( 851 H-923 H). Di antara semuanya itu, hanya empat buah saja yang terpandang tinggi dari segala jurusan :

1.     At-Tanqih, karangan Badruddin Az Zarkasyy.

2.    At-Tawsyih, karangan Jalaluddin As Sayuthy.

3.    ‘Umdatul Qari, karangan Badruddin Al ‘ainy.

4.    Fathul Bari, karangan Syihabuddin Al’Asqalany.

 

       Fathul Bari lah, yang merupakan kitab yang terbaik di antara keempat kitab di atas, sehingga digelarkan “Raja syarah Bukhary”.

      

       Ibnu Hajar memulai penyusunan syarah tersebut pada tahun 817 H. Sesudah menyelesaikan muqaddimahnya pada tahun 813 H. Sesudah siap beliau susun, beliau adakan “peralatan besar” yang menelan biaya 500 dinar. Kemudian syarah itu diminta beli oleh seorang Amir seharga 150 pound.

 

       Di samping dibuat syarah-ayarah terhadap buku Shahih Bukhary, dibuat pula mukhtasarnya (ringkasannya). Mukhtasar yang terbaik, adalah “At-Tajridu ‘sh-Shahih,” susunan Al-Husain ibn Al-Mubarak (631 H).

 

       Sebagian sarjana menetapkan, bahwa At-Tarjudi ‘sh Sahih ini, susunan Abul Abbas Syarafuddin Ahmad Asy Syarajy Az Zabidy, yang diselesaikannya dalam tahun 889 H Dalam tahun 893 H. beliau berpulang.

 

       Sebagian ulama menguatkan pendapat ini dengan alasan bahwa Al-Husain Ibnul Mubarak Az Zabidy wafat dalam tahun 631 H. Sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Qasthalany dalam Al-Irsyad. Bukunya diselesaikan dalam tahun 889 H. Kitab mukhtasar ini telah disyarahkan oleh Al’Allamah Hassan Khan dan oleh Abdullah Asy Syarqawy.  

 

4.  Pandangan Problematik tentang Hadits.

 

       Pada Abad II Hijriyah, muncul faham yang menyimpang dari garis khittah yg telah dilalui oleh para shahabat dan tabi’in, yaitu ada yg tidak mau menerima Hadits sebagai Hujjah dalam menetapkan hukum atau bila tidak dibantu oleh al-Qur’an, dan ada pula yang menolak Hadits Ahad. Dalam pada itu terdapat pula perbedaaan faham dalam hal keadilan shahabat, hukum menulis hadits, keberadaan pemalsuan hadits, dll.


       Problematika tsb dibahas secara seksama oleh para ulama dengan menggunakan dalil yg jelas dari al-Qur’an dan Hadits, Logika yg kuat, serta fakta-fakta historis yg kuat sejak zaman Nabi s.a.w.

 

       Tentang pemalsuan Hadits, memang merupakan suatu kenyataan, namun telah dianalisis siapa sebenarnya pelakunya, dan telah diadakan penangulangan oleh para ulama dan dan kaum muslimin pada umumnya. Adapun ikhtilaf tentang penerima hadits dan Hadits Ahad sebagai dasar Tasyr’I dapat diuraikan sebagai berikut :

1.     Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits Ahad merupakan hujjah yang dapat dijadikan landasan amal walaupun bersifat zhan.

2.    Ahmad, al-Mahasibi, al-Karabisi, Abu Sulaiman  dan Malik berpendapat bahwa Hadits Ahad qath’i dan wajib diamalkan.

3.    Kaum Rafidhah , al-Qasimi, Ibnu Dawud, dan sebagian kaum Mu’tazilah mengingkari Hadits Ahad sebagai hujjah.

 

Alasan penolakan hadits Ahad sebagai hujjah adalah sebagai berikut :

1.     hadits Ahad itu bersifat zhan bisa mengandung kesalahan, maka tidak dapat digunakan sebagai hujjah.

2.    Karena telah sepakat bahwa Hadits Ahad tidak dapat dijadikan landasan di bidang Ushul dan Aqidah, maka tentunya begitu pula untuk bidang furu’.

3.    Sikap Nabi s.a.w. yang tidak segera merespon terhadap informasi Dzu  al-Yaddin bahwa Nabi menyudahi shalat ‘Isya dua raka’at. Baru setelah Abu bakar dan ‘Umar menbenarkan ucapan Dzu al-Yaddin, Nabi s.a.w. menyempurnakan shalat dan melakukan sujud sahwi.

 

4.    Sahabat menolak pemberitaan seseorang, seperti Abu baker menolak informasi Mughirah tentang warisan nenek dari cucu, ‘umar menolak riwayat Abu Musa tentang isti’dzan dan ‘Aisyah menolak khabar ibn ‘Umar tentang disiksanya mayat karena tangisan keluarganya.

 

Jawaban dan penjelasan dari ulama yang menerima Hadits Ahad sebagai hujjah sebagai berikut :

 

1.     Hadits Ahad walaupun bersifat zhan, telah disepakati sebagai hujjah untuk masalah furu’ dan menjadi pegangan semenjak masa nabi s.a.w. dan sahabat, maka dengan ijma’nya bersifat qath’i.

2.    Qias soal ushul dan furu’ kurang tepat. Zhan untuk masalah furu’ bias diterima mengingat kasus fatwa dan kesaksian.

3.    Nabi s.a.w. menangguhkan penyempurnaan shalat ‘isya karena ragu, setelah Abu Bakar dan ‘Umar memberitahu, bary Nabi s.a.w. berbuat. Hal ini tidak berarti menggugurkan informasi Dzu al-Yaddin.

 

       Kenyataan sejarah menunjukan, bahwa para sahabat dan tabi’in menerima Hadits Ahad dan mengamalkannya dan banyak hukum disandarkan kepada Hadits-hadits ahad.

 

              Kritik tentang Hadits dilakukan oleh sarjana barat, adapun kritik2 tersebut adalah :

 

1. Beberapa orientalis berpendapat bahwa sebagian besar hadits adalah buatan orang Islam, bukan merupakan sabda Nabi saw. Menurut mereka hadits lahir karena perkembangan politik dan kondisi sosial. 

2. Karena dalam hadits banyak lafadz yg berbeda-beda. Dengan berdalil pada ayat-ayat Al-Qur’an :


“Tidak kami sisakan sedikit pun dari sesuatu di dalam kitab(al-Qur’an)”

            (Q.S. al- An’am : 38)

 

       “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan ad-dzikr (al-Qur’an) dan  Kami  

         pula yang jadi penjaganya” (Q.S. Al-Hijr : 9).

 

                                                                                             

3. Hadits terkait erat dengan kepentingan partai dan golongan yg ada dalam umat Islam, dll.

 

       Adapun jawaban terhadap tudingan orientalis tersebut adalah :

1.     Sejak permulaan Hadits adalah dasar penentuan syari’at Islam, yg telah jadi pedoman dan mendarah daging dlm tubuh umat Islam dan banyak diamalkan.

2.    Bahwa perbedaaan Lafadz Hadits terjadi sebab terkait dengan derajat dan nilai suatu hadits atau difahami sebagai diwan hadits.

3.    Betul dalam tubuh umat Islam terjadi konflik politik, tapi yang membuat hadits bukanlah kalangan ulama Hadits.



Leave a Reply.


HIMPUNAN MAHASISWA (HIMA) PERSIS PK STAI PERSIS BANDUNG